Jumat, 07 November 2014

BELADIRI: Integrasi Pikiran-Tubuh-Jiwa dalam poros Spiritualitas


Tujuan berlatih beladiri, seni-beladiri, dan Seni beladiri berdasar filosofi bukan semata-mata melatih senjata pembunuh seperti cakar atau taring binatang buas. Awalnya manusia menyadari keterbatasannya secara fisik lalu mengupayakan cara melindungi diri terhadap serangan binatang, dan berlanjut terhadap serangan manusia lain. Dari ilmu jaga diri berubah menjadi bela diri, lalu dibudayakan menjadi sebuah seni. Seni beladiri seperti sebuah aktivitas fisik yang mengembangkan kekuatan raga ternyata berpengaruh pada kekuatan jiwa. Menguatkan atau melatih kemampuan tertentu dari anggota badan kita membentuk suatu kesatuan sifat-sifat yang mewarnai kepribadian kita. Misalnya kedisiplinan, keuletan, kewaspadaan, dan akhirnya ketenangan. Itulah warna-warni yang didapat dari hasil latihan secara berulang dan terus-menerus.

Tidak heran apabila ragam seni beladiri berkembang disesuaikan dengan karakter manusia yang dipengaruhi iklim dan kondisi geografis. Tidak heran pula latihan beladiri tertentu membentuk karakter manusianya. Misalnya, seorang yang berlatih gaya tinju selatan yang menekankan gerakan strategis jarak dekat akan memiliki karakter kepribadian berbeda dengan rata-rata orang yang berlatih gaya tendangan utara. Beladiri yang menekankan pada menangkis dan membentur akan mempunyai efek kejiwaan yang berbeda dengan beladiri dengan tipe menyerang sambil menghindar. Tipe atau karakter kepribadian, khususnya kecenderungan dalam menghadapi masalah sangat erat kaitannya dengan tipe atau karakter seni beladiri atau teknik yang dilatih. Hal ini bukan barang baru, sebab dalam ilmu psikologi khususnya psikologi proyektif dapat ditemukan bahwa penggambaran karakter internal (jiwa) dapat dilihat dari karakter eksternal (karya atau visualisasi lain seperti gambar, tulisan, dll.).

Sebelum lebih jauh, jika kita tilik konsep dasarnya, jiwa akan kita temukan sebagai elemen diri yang tumbuh berkembang seiring perkembangan diri. Jiwa turut menjadi respon dari pembelajaran terhadap dunia nyata. Jiwa juga merupakan hasil dari tubuh dan aspek internal bawaan, yang sering disebut ruhaniah (jasmani-ruhani). Namun jiwa bukan merupakan satu hal yang mandiri melainkan kesatuan dari berbagai aspek, seperti juga kecerdasan yang terbagi menjadi banyak bagian. Dalam segi visual (inderawi) jiwa adalah penggerak dari perilaku, atau kecenderungan bagaimana cara seseorang merespon sesuatu dari dalam (tubuh fisik)maupun luar dirinya (stimulus luar). Jadi jiwa diamati dengan perilaku sehingga ilmu kejiwaan sebenarnya adalah ilmu perilaku. Namun apa yang membedakan perilaku orang satu dengan lainnya bukanlah semata-mata dari segi kuantitasnya saja. Ada hal-hal yang dinilai secara kualitas berdasarkan makna atau bobot nilai tertentu. Itulah yang kemudian menjadikan orang dikenal sebagai pemilik jiwa yang kuat atau lemah. Jika orang mudah menyerah, misalnya, maka dikatakan ia lemah meskipun secara fisik ia berotot.

Pikiran, identik dengan kesadaran. Pikiran bukan hanya logika atau kecerdasan, tetapi juga aktivitas dan seberapa aktif proses berpikir itu terjadi/ dilakukan. Pikiran (mind) adalah sebuah ke-ada-an dan ke-ber-ada-an, yaitu kondisi dan sekaligus eksistensi dari suatu elemen diri yang berfungsi sebagai alat menalar segala sesuatu, secara aktif. Pikiran itu hidup, tapi tidak selalu dihidupkan dan bahkan tidak selalu menghidupkan. Pikiran dihidupkan bila difungsikan dengan baik sesuai fitrahnya. Adakah yang tidak berfikir? Banyak, yaitu bila orang bertindak secara serampangan, enggan menimbang-nimbang terlebih dahulu dan hanya menuruti suatu dorongan dari dalam dirinya. Pikiran akan menghidupkan diri dan jiwa apabila membawa tubuh berperilaku yang bermoral, bermakna, atau bermanfaat bagi semua. Dengan perilaku yang bermanfaat maka diri akan merasakan pencerahan atau kebahagiaan sehingga selaras antara pikiran, tindakan, dan perasaan. Sebaliknya, diri akan merasakan pertentangan ketika melakukan perbuatan yang melanggar prinsip alamiah, membuat kerusakan, dan menyakiti sesuatu. Pertentangan ini disebabkan diri mempunyai dasar dorongan terhadap kebaikan sebagai fitrah alami manusia, namun tubuh fisik digerakkan menuruti dorongan lain yang tidak dikendalikan oleh kesadaran, inilah yang disebut hawa nafsu.

Kesadaran adalah suatu kondisi saat diri sadar dan menyadari (conscious and aware), atau waspada. Kesadaran dekat dengan kehati-hatian yang artinya menggunakan hati atau menakar, menimbang-nimbang dan memperhitungkan. Sadar adalah mengerti apa yang terjadi, apa yang dilakukan beserta segudang bawaan dari tindakannya itu. Jadi bila seseorang tidak sadar ia cenderung berlaku salah dan merusak. Adakah orang yang tidak sadar? Ada. Antara lain jika kita pernah mengalami tindakan spontanitas, keceplosan ngomong, dan melakukan sesuatu saat perhatian kita teralihkan, maka saat itulah kita sadar tapi tidak menyadari alias tidak sadar sebenarnya.

Fisik adalah manifestasi (pengejawantahan) dari jiwa, dan pikiran adalah penggeraknya. Fisik juga berlaku sebagai pembentuk dan pelatih jiwa, dengan pikiran sebagai pengendalinya. Tujuan berlatih beladiri adalah mengintegrasikan antara tubuh fisik, jiwa, dan pikiran agar bisa selaras. Latihan beladiri adalah melakukan suatu hal yang tertata dengan kesadaran, diawali dengan niat kuat dan sadar (kemauan) serta dikendalikan supaya memenuhi target tertentu dan tidak menyerah di tengah jalan. Untuk tidak menyerah, fisik dikendalikan oleh pikiran. Agar pikiran mampu mengendalikan, perlu adanya kesadaran. Jadi mengolah fisik didahului dengan memantapkan pikiran ternyata juga didahului dengan mengaktifkan kesadaran. Lebih lanjut, hasil latihan beladiri ternyata menghidupkan baik fisik (sehat) maupun mental (pikiran, perasaan, dan kesadaran itu sendiri). Sehingga latihan beladiri mempunyai suatu puncak yang berlapis-lapis bernama “taraf kesadaran”. Semakin tinggi tingkatan ilmu beladirinya, orang memiliki taraf kesadaran yang lebih tinggi. Dari sinilah muncul sebuah konsep moralitas (wu de) yang bukan hanya untuk mengendalikan kekuatan yang dimiliki, namun lebih kepada bagaimana orang berpikir dan bertindak secara nilai-nilai yang lebih unggul/ mulia.

Tindakan, pikiran, dan perasaan yang disadari menjadi status mental yang lebih mulia ketimbang kondisi biasa (orang yang tidak berproses dengan disiplin beladiri). Kita tidak akan bisa melepaskan status mental dengan elemen dasar lain yaitu spiritualitas. Bagaimanapun jiwa (mental secara spesifik) adalah hasil percampuran atau area pertemuan dari elemen fisik dan spirit (ruh). Jiwa mempunyai sifat fisik yang disebut hawa nafsu, dorongan atau keinginan terhadap kebendaan dan hal-hal biologis. Namun jiwa juga mempunyai kecenderungan ruhiyah yaitu pasrah dan kedamaian, cinta kasih serta kebahagiaan. Termasuk rasa takut dan marah, cemburu dan iri, bahkan dendam, adalah anak-anak dari elemen-elemen dalam jiwa yang dimotori oleh sifat fisik dan ruhani. Bedanya, elemen negative seperti takut atau marah lebih bernuansa fisik, misalnya takut mati, marah karena tidak jadi mendapat yang dibutuhkan, dll. Sedangkan kedamaian, cinta kasih dan kebaikan adalah elemen ‘tenang’ yang merupakan pengaruh ruhaniah. Semua aspek internal itu akan dikendalikan oleh kesadaran dengan alat bernama pikiran. Semakin kuat kesadaran, semakin kuat fungsi pikiran. Pikiran yang hanya berfungsi secara logis (kecerdasan) adalah pikiran yang lemah, karena tidak mampu menggerakkan jiwa dan tubuh dalam perilaku. Inilah yang sering menjadikan distorsi atau ketidaksesuaian antara pikiran dan perilaku. Misalnya di satu sisi orang mengakui bahwa merokok itu tidak sehat tapi ia tetap saja merokok meskipun tidak terlalu mencandu.

Beladiri bertujuan untuk meraih taraf kesadaran yang lebih tinggi, selalu lebih tinggi, karena diatas langit masih ada langit, kata pepatah. Taraf kesadaran menjadikan nilai kemanusiaan yang lebih baik, Nampak dari perilaku dan tutur kata, misalnya. Artinya beladiri berbicara soal kualitas, bukan semata-mata kuantitas. Soal kemampuan dalam beladiri, jika akhirnya hasil latihan hanya diberatkan pada aspek mental bukannya fisik, maka akan menjadi harta kekayaan. Lebih baik punya tapi tidak butuh daripada butuh tapi tidak punya. Lebih baik bisa membunuh orang tapi tidak perlu membunuh, daripada membunuh tanpa keperluan atau perlu membunuh tapi tidak mampu. 

Akhirnya, diketahui bahwa tubuh fisik, pikiran-kesadaran, dan jiwa semuanya berintegrasi dalam poros dasar/ utama yaitu spiritualitas. Spirit adalah dasar dari fisik, seperti chi yang menjadi pembentuk/ unsur dasar segala sesuatu di alam semesta. Memahami spiritualitas adalah memahami betapa kita sebenarnya sering terjebak dalam ilusi-ilusi seperti ilusi kebendaan, ilusi visual, dan ilusi pikiran (fantasi). Tidak ada yang sebenarnya terpisah, semuanya menyatu sebagai kesatuan (integral), antara bagian-bagian tubuh, antara kelima elemen (air, api, tanah, kayu, udara), antara bumi dan langit, dan antara tubuh-jiwa-pikiran. Spiritual adalah bicara soal hakikat dasar, kembali ke asal dengan sifat-sifatnya yaitu alamiah. Maka dari itu seseorang akan sehat apabila tidak ada pemisahan antara tubuh-pikiran-jiwa atau memperlakukan semua itu sebagai suatu kesatuan. Berolah pikir saja atau berolah fisik saja pastilah tidak sehat. Antara yang internal dan eksternal juga harus diintegrasikan sehingga orang tidak usah membentuk ego dan alter-ego ala Spiderman-Peter Parker, atau Batman-Bruce Wayne. Orang harus menyatukan antara ego dan alter-ego sehingga menjadi transparan dan apa adanya, tidak bertopeng, tidak berlagak, tidak menutup-nutupi karena rasa takut yang tidak perlu. Hilangnya rasa takut (insecurity of status) akan tumbuh menjadi keberanian dan kewibawaan. Itulah yang disebut ‘Shen’ (ketenangan/ wibawa). Keberanian pula diikuti ketenangan dan kedamaian. Itulah yang kemudian disebut ‘Sum’ alias kejernihan hati, ibarat air jernih yang akan tetap jernih meski diaduk-aduk seperti apapun. 
(ditulis sebagai hasil studi literatur dan diskusi tentang Tai Chi Chuan)
Selengkapnya

Othak-Athik Gathuk

Di bawah ini adalah hasil olah rasa surasa dan pikir yang kiranya lebih baik diunggah disini daripada menuh-menuhin kepala saya...

1. Kalau Jamak Juja adalah Ya'juj wa ma'juj, apakah Kelabang kores adalah Khalifah Abu Bakr Al Baghdady al Quraisy (pemimpin ISIS)?

2. Dajjal bermata satu, seperti lambang Illuminati, lambang uang dollar Amerika, juga televisi (one vision) yang bisa bikin orang menganggap surga itu neraka dan sebaliknya.

3. Indonesia andai dipimpin oleh Prabowo-Hatta akan dapat "kemana-mana" alias Indonesia akan punya nama besar. Kalau dipimpin Jokowi-JK akan dapat melakukan banyak hal (membenahi Indonesia). Sebab Hatta Rajasa ibarat kaki sementara Jusuf Kalla ibarat tangan.

4. Indonesia berumur 69 tahun, angka yang diawali dengan pelajaran (disertai rasa sakit) dan hasilnya ekstrem, kalau seneng ya seneng banget, kalau susah ya susah banget. Bener-bener tahun penuh kehati-hatian!!

5. NOTONAGORO sudah sampai pada fase GO yaitu Goro-goro.. awas ideologi radikal yang mengancam bangsa, bisa-bisa peristiwa 1965-1966 terulang lagi menyeret korban jiwa.

6. Hanya panji merah-putih (obar-aber) yang akan selamat di Nusantara. Merah= berani, putih=tulus ikhlas karena suci (suci dari pamrih dan harapan ketamakan nafsu). Artinya, yang selama ini tapa mbisu pun harus mulai tapa ngrame karena harus menjadi berani menegakkan kembali keNusantaraan dengan berbasis kesucian. Di sini bukan agama yang mensucikan orang tapi perilakunya.

7. Panca Sila boleh hilang, tapi nilai-nilainya abadi. Indonesia boleh hancur, tapi keNusantaraannya abadi. Tidak masalah presiden atau raja, karena wahyu keprabon itu milik Tuhan, manusia hanya lantaran saja.

8. Indonesia tidak akan berdiri atas dasar agama, karena semua agama punya fanatik dan lunatik, misal Islam kearab-araban (orang Timteng pengen Islam itu diamalkan seperti yang ada di Timteng, semua sama pukul rata), orang Hindu India mulai meng-Indiakan Jawa dan Bali, Kristenisasi berharap "world domination" karena berpendapat Yesus adalah untuk semua, dlsb. Bagi yang berpegang pada keluhuran nenek moyang, agama menjadi penyelamat. Bagi yang berpegang pada keyakinan (agama sesuai pemahamannya sendiri tanpa mengamalkan tuntunan leluhur) maka agama akan menjadi pengkhianat.

9. Setiap pria dan wanita adalah ksatria dengan 3 senjata suci: tombak (tuntunan), pedang (kekuatan), dan panah (batin; manah=hati). Beda antara satria dan bukan adalah: yang bukan satria menggunakan tameng (berupa agama, ideologi, prinsip, dll. bukannya menggunakan semua itu sebagai alat sedang mereka sadar bahwa tindakan pasti akan berbalas. Kebanyakan orang sekarang menggunakan tameng dan tidak 'apa adanya'.

10. Ciri-ciri orang selamat: -Eling lan waspada -Migunani Tumraping Liyan -Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake -Manunggaling kawula lan Gusti (berusaha sebisa mungkin bertindak seperti Tuhan dengan meniru kasih sayangNya, Maha PemaafNya,dan selalu mencoba sedekat mungkin denganNya) -Bhinneka Tunggal Ika, mencintai sesama makhluk -Bersahabat dengan kandapatnya (Amarah, Sufiah, Lauwamah, Mutma'innah) dan bukannya dikendalikan oleh nafsu-nafsu tersebut. -Sedikit bicara, sedikit makan, sedikit tidur (cegah dhahar klawan guling) dan banyak mengingat Tuhan serta mengingat mati -Hormat pada yang tua, sayang pada yang muda, adil pada sesama. Demikianlah othak-athik gathuk kali ini. Terima kasih telah membaca.
Selengkapnya

Sekar Dhandhanggula Kanyut Pelog Pathet 6


“SAPTA DAYA GESANG MANUNGGAL”
By: Ki Mas Ngb. H. Adi Asmoro

Sapta Daya Gesang Manunggal Ji
Sae Manjing Nir Waras sepisan
Kapi nDhagel ping pindhone
Ingkang ping telunipun
Eka Rasa Paningal Tunggil
Nyandhak kaping sekawan
Werdi sipatipun
Blungon Mencok nedya
Banyu Mili, Sampurna Nir Wadag nuli
Manunggal Jagad Nala

Werdinipun ingkang ping satunggil
Sae Manjing Nir Waras pramila
Ingkang mengku sejatine
Bisa mesem gumuyu
Ngedan nanging tan edan kaki
Tan padha marang liya
Datan melu arus
Tatag teguh jroning nala
Pan kridhane liya boya seging dhiri
Boya usah tinulad

Lajeng Wanara nDhagel ping kalih
Klawan wanara mengku sasmita
Apan kabeh tumindake
Tansah agawe guyu
Mrang sujanma kang amiarsi
Tan lumut tur gumbira
Dadya ngono kulup
Mula kulup sira aja
Lumut apan kridhamu diguyu liya
Ning ja met panglembana

Ngancik Sapta Daya ingkang ping tri
Eka Rasa Tunggal ing Paningal
Kamot teges sejatine
Wong urip ingkang teguh
Duwe keblat lampahing urip
Nadyan beda mring liya
Tetep tatag teguh
Ngrungkepi kang bener nyata
Saguh nampa ingkang bener lawan becik
Pupusen nepsunira

Kapat Blungon Mencok mengku sandi
Warnaning blungon padha uninga
Abang ireng pan ijone
Rupi-arupinipun
Gumanting mring papane mangkring
Tegese yen srawungan
Gapyak supel kulup
Kang beda aja den wada
Tan kudu padha, ngeli ning ora keli
Dadya pribadhinira

Nyandhak kaping gangsal Banyu Mili
Lamun mili pesthi pindhah papan
Nadyan meneng ning ngelemke
Ngejur pepalangipun
Supel papane den padhani
Ing gelas pindha gelas
Mula sira kulup
Kang supel jro srawungan
Tanggap sasmita, yen luput tan baleni
Dimen sira raharja

Sampurna Nir Wadag ping nem kaki
Nir iku tegese datan ana
Pan wadag iku badane
Dadya sampurna iku
Dudu badan ning jiwaneki
Jiwa tentrem sampurna
Cedhak mring Hyang Agung
Jiwa raga den reksaha
Dimen kendel datan ana sipat ajrih
Kejaba mring Hyang Suksma

Ping sapta Manunggal Jagad Ati
Alam klawan budi dadya tunggal
Dadya tunggal kekalihe
Lamun wadag puniku
Datan bisa datan kuwawi
Ning budi bisa mbatang
Jagad Pratala Gung
Antuka werdining jagad
Nadyan sithik rat aja disepeleni
Bisa negejur manungsa

Amungkasi serat kang ginurit
Sira kaki padha angestokna
Dimen mukti ing uripe
Ambengkas ing nepsu dur
Asih lantip tanggap astuti
Kaanggit ing ngayogja
Maulud wulan Gung
Ping nem likur Be Dhesta
Raket ngisak sancaya winduning
Manis guna wangining nala.

(Bantul, 26 Maulud 1936 Be)
Selengkapnya

Entri Populer