Selasa, 17 Maret 2015

Pendidikan anak: Menjadi Boss atau Ayah?



Seorang boss akan melakukan hal yang berbeda dengan seorang ayah. Jika hubungan ayah-anak disamakan dengan boss-pegawai. Seorang boss yang baik akan meninggikan nama karyawan/ pegawainya dihadapan boss dari perusahaan lain. Mungkin dia akan memuji karyawannya tersebut atau menyebutnya sebagai pegawai yang berkualitas, jika berurusan dengan orang lain atau urusan luar perusahaan. 

Pegawai adalah asset perusahaan, juga bisa menjadi “muka” bagi perusahaan tersebut. Jika si boss memuji karyawannya di depan perusahaan lain, maka ia menjaga nama baik perusahaannya. Tetapi kebalikannya, di dalam internal perusahaan si boss justru akan memaki-maki atau gampang memarahi karyawannya itu jika kerjanya kurang beres sedikit saja. Bahkan sering meski sudah bekerja dengan baik, si boss seolah tetap tidak puas dengan karyawannya. Hal ini adalah untuk menjaga performance kerja para karyawannya, tidak dengan pujian atau semacamnya. Sebab reward yang diberikan pada karyawan sudah jelas dan sesuai dengan system yang diberlakukan. Karyawan memperoleh gaji, plus lembur dan atau bonus-bonus tertentu sesuai prestasi dan aktivitas kerjanya. Reward dari si boss terhadap karyawan tidak berupa kelunakan hati dengan kata-kata manis atau pujian melainkan hak yang memang telah dijanjikan. Jika karyawan dipuji, maka ia akan cenderung lalai dan bekerja semaunya sendiri, karena sudah digaji, dapat bonus, plus tanggapan psikologis yang menyenangkan, maka merasa diatas anginlah dia. 

Berbeda dengan itu, hubungan ayah-anak tidak bisa disamakan dengan boss-karyawan. Meskipun, ironisnya, apa yang terjadi justru berkebalikan. Seorang ayah (ataupun orangtua secara umum) justru melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang boss. Coba tengok perbandingan berikut ini:

1.       Meninggikan di luar dan merendahkan di dalam
Orangtua ketika membawa anaknya berhadapan dengan masyarakat umum atau keluarga lain, mestinya tidak meninggikan anaknya sendiri. Jika iya, dan di dalam rumah si anak dicela atau dikomentari negative, maka orang tua telah dua kali menjatuhkan si anak beserta keluarganya sendiri. Memuji-muji atau meninggikan anak dihadapan umum menyebabkan persaingan dengan orang lain yang juga sama-sama punya anak, seolah saingan “anakku bisa begini, anakmu bisa apa?”. Hal ini juga akan menyebabkan munculnya  “forum perbandingan” yang berujung perlakuan negative dan dehumanisasi terhadap anak di dalam rumah. Anak akan merasa sangat tidak enak jika dibandingkan dengan anak lain, atau disuruh mencapai apa yang dicapai anak lain. Karena ia punya bakat sendiri dan minat yang berbeda. Meninggikan anak di luar keluarga akan menciptakan ketegangan antar orangtua (persaingan), dan merendahkannya di dalam akan menyebabkan si anak merasa tidak diakui, tidak diperhatikan dan tidak dikasih-sayangi. Pengaruhnya ke prestasi, mungkin akan makin menurun, dan atau si anak akan stress lalu mengarah pada perilaku kenakalan tertentu.

2.       Meninggikan di luar dan di dalam
Jika di luar dipuji-puji dan di dalam keluarga juga demikian, maka si anak akan merasa selalu hebat. Ini justru membuatnya merasa tidak pernah salah, selalu benar, dan sudah cukup dengan apa yang dicapai. Tidak akan ada dorongan untuk berprestasi, dan kalau bertindak biasanya keluar dari nilai-nilai sekenanya.

3.       Merendahkan di luar dan di dalam
Terkadang karena rasa tidak enak pada orang lain, atau takut dikira sombong, maka orangtua merendahkan anaknya (lebih rendah daripada kondisi normalnya anak orang lain). Hal ini sekilas biasa saja, tapi jika sudah sampai taraf mencela, misalnya mengatakan bahwa anak saya itu jeleknya begini…begitu… maka itu bisa dianggap serius oleh orang lain. Kemudian orang lain bisa beranggapan bahwa kondisi keluarga si orangtua tersebut memang tidak baik, dan akhirnya akan menyebabkan pandangan negatif atau meremehkan keluarga tersebut. Sejalan dengan itu, bila di dalam rumah orangtua justru bersikap sama yaitu merendahkan anaknya (mencela) maka si anak akan beranggapan betapa memang buruknya dirinya, dan atau dirinya turut menyebabkan keburukan dalam keluarganya. Ia akan hidup dengan dipenuhi penyesalan, ketidakpercayaan diri, dan akhirnya motivasi dan harga diri yang rendah. Orang seperti ini rentan menjadi korban bullying di lingkungan manapun ia berada, dan tidak punya mental untuk mencapai sesuatu yang besar.

4.       Merendahkan di luar tapi meninggikan di dalam
Jika anak punya prestasi sekecil apapun, maka di dunia luar kita orangtua lebih baik mengatakan bahwa itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Merendahkan dalam artian tidak memuji ketinggian, namun hanya menjadikannya “level normal”, dan tidak mencela maka itulah yang semestinya dilakukan para orangtua. Hal itu akan menghindarkan kita dari anggapan sombong, sekaligus anggapan kondisi buruk keluarga, sebab semuanya baik-baik saja atau biasa-biasa saja, tidak terlalu istimewa. Sementara itu, di dalam rumah, si anak dimotivasi dengan memberikan apresiasi atau sedikit pujian sewajarnya. Katakan saja bahwa ia telah melakukan hal yang bagus, mencapai prestasi yang baik, atau perjuangannya lebih berarti daripada hasil yang didapat. Hanya saja, yang perlu diingat adalah meninggikan anak ataupun memuji ini harus wajar saja, tidak berlebihan. Sampaikan juga kekecewaan kita jika ada, namun tetap kita mengapresiasi apa yang ia lakukan dan berikan dorongan untuk terus maju menjadi lebih baik dari dulu dan sekarang. Dengan begitu, anak akan menjadi percaya diri pada kemampuannya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain serta termotivasi untuk maju dengan apa yang ia miliki tanpa merasa rendah disbanding orang lain. Plus, keluarga akan terhindar dari omongan jelek atau diremehkan orang lain. Seperti kata pepatah kuno Taoisme, “pohon yang besar dan tinggi akan ditebang dan dirubuhkan”, maka janganlah kita meninggikan diri di hadapan orang lain, agar tidak menantang mereka untuk merendahkan atau menjatuhkan kita.

Jadi, yang disebut merendahkan sebenarnya hanya normalisasi atau netralisasi. Prinsip yang mengalir seperlunya ini adalah bagian dari cara hidup yang harmonis, tidak merusak atau membentur apa yang ada. Sebagai seorang boss pasti berbeda dengan menjadi seorang ayah/ orangtua, sebab tujuannya juga berbeda. Salam.
Selengkapnya

Rabu, 24 Desember 2014

MASAK, MACAK, MANAK, KESEMPURNAAN WANITA MENURUT KHASANAH JAWA



 Jika dalam pewayangan dikenal Arjuna sebagai sosok pria sempurna, maka dikenal pula sosok Srikandi sebagai wanita idealnya. Ada pula sosok Rama dan Shinta, nah di sini kita akan membahas substansi dasar dari penokohan karakter-karakter ideal itu.

Kesempurnaan wanita digambarkan dengan memiliki tiga kemampuan atau kebisaan yang dalam ilmu Jawa disebut Masak, Macak, Manak. Berikut penjelasannya:

1.       Masak
Bukan semata-mata bisa mengolah makanan atau memasak, seorang wanita haruslah kreatif dan produktif. Ia bisa memberikan apa yang dibutuhkan suaminya atau keluarganya, khususnya secara mental. Ia harus punya kemampuan managerial (pengelolaan sumber daya) yang bagus. Dengan demikian seorang wanita bisa mengolah apapun yang sederhana menjadi bernilai dan bercita-rasa. Selain itu, memasak adalah skill, jadi wanita harus punya keahlian, dan khususnya keahlian yang mampu memberikan kebahagiaan atau kebaikan bagi suami dan anak-anaknya.

2.       Macak
Secara harfiah macak berarti berdandan. Artinya, seorang wanita haruslah bisa merawat dan memelihara dirinya sendiri. Wanita harus memelihara dan menjaga diri, baik harga diri, kehormatannya sendiri, maupun kehormatan keluarganya. Berdandan juga dapat diartikan bahwa wanita harus bisa membuat dirinya dihormati, dikagumi, disayangi, dicintai, bahkan diinginkan oleh setiap orang, khususnya suaminya/keluarganya. Wanita harus nampak indah dan menyenangkan (good-looking), menampilkan dirinya sebagai suatu keanggunan dan keindahan.

3.       Manak
Kodrat seorang wanita adalah mengandung dan melahirkan anak-anak sebagai penerus/ keturunannya. Arti dari sandi manak ialah seorang wanita harus bisa menjalankan fungsi reproduksi secara total, mulai dari fungsi seksual bersama suaminya, mengandung dan melahirkan anak-anaknya, hingga merawat dan mendidik keturunannya. Wanita adalah pendidik utama bagi anak-anak. Boleh dibilang bahwa kemuliaan wanita adalah karena merekalah yang melahirkan orang-orang hebat. Perlu dipahami bahwa proses pendidikan generasi dimulai sejak wanita itu siap untuk ‘membenihkan’ keturunannya, yaitu sejak pra-nikah, bukan hanya pasca kelahiran anaknya. Ini hal yang jarang diketahui orang banyak. Sebab perilaku seorang dipengaruhi perilaku ibunya sejak sebelum nikah, bahkan. Jika wanita itu baik-baik maka niscaya akan melahirkan keturunan baik-baik. Menurut legenda-legenda pula, wanita menjadi perebutan para ksatria karena wanita tertentu diyakini mampu melahirkan keturunan yang hebat dan punya kekuasaan, seperti Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung hanya untuk mendapatkan Ken Dedes, karena meyakini bahwa dari rahim Ken Dedes akan lahir para raja penguasa Tanah Jawa. Agama Islam pula menyiratkan bahwa dalam masa kehamilan, seorang wanita harus memperbanyak berdzikir dan membaca ayat-ayat Allah, agar anak yang dikandungnya bercahaya Ilahi dan dekat dengan Allah SWT. Hanya dari perempuan yang menjaga diri, menjaga kehormatan dan kesuciannya, akan lahir keturunan yang disucikan dan dilindungi Tuhan serta menjadi manusia berbudi luhur. Wanita baik akan dipasangkan dengan lelaki yang baik. 

Ajaran Jawa ini bermaksud untuk memberikan arahan dalam menempa diri. Sebab Ajaran Jawa bersumber pada satu istilah yaitu ‘laku becik’. Laku artinya perjalanan, atau harus dijalani, dilaksanakan sebagai cara hidup, seumur hidup. Jadi tidak peduli awal mula manusianya bagaimana asalkan dia mau menempuh laku maka akan terjadi perubahan yang positif. Ibaratnya jalan, bila tidak ditempuh (tidak dilewati) maka takkan pernah sampai tujuan. Tapi meskipun berliku dan panjang, bila ditempuh pastilah akan sampai. Sekian.


Selengkapnya

PRIA SEMPURNA MENURUT AJARAN JAWA



Dalam kisah pewayangan, kesempurnaan seorang laki-laki identik dengan sosok ksatria Arjuna. Meskipun Arjuna dalam kisah Maha Bharata secara lengkap tidaklah sesempurna anggapan orang, tapi sosok ini cukup memberikan gambaran dan bahkan pelajaran bagaimana menjadi seorang pria yang sempurna. Sekilas, Arjuna adalah seorang ksatria yang good-looking, punya pesona dan dibuktikan dengan banyaknya isteri yang dimilikinya. Namun bukan banyaknya wanita ini yang menjadikannya istimewa. Dalam falsafah Jawa,banyaknya istrinya Arjuna adalah perlambang jumlah ajian atau ilmu kesaktian Arjuna. Nah, berdasar morfologi itu, para pujangga membuat sebuah sandi mengenai pria sempurna bak Arjuna.
Lelaki sempurna lahir batin (fisik dan mental) dianggap memiliki lima hal yang melengkapi hidupnya. Lima hal itu ialah: Griya (rumah), Wanita (isteri), Turangga (kuda), Kukila (burung), dan curiga (keris). Makna dari kelima hal itu secara mendalam adalah:

1.       Griya (rumah)
Rumah diartikan sebagai tempat pulang selepas berkelana seharian. Ada tempat untuk “di-pulang-i” atau bahasa Jawanya ngulihi. Jadi seorang pria itu pergi-pergi kemanapun pasti ada yang membuatnya kembali, seperti pepatah “sejauh-jauh burung terbang akan kembali ke sarang”. Jikaseorang pria homeless maka dia tak punya martabat, sama seperti layaknya binatang padahal binatang pun punya wilayah kekuasaan. Rumah juga merupakan tempat perlindungan, sesuatu yang melindungi auratnya, aibnya, membatasi wilayah privasinya dengan wilayah umum dan wilayah privasi orang lain. Rumah adalah sesuatu yang ia lindungi dan pertahankan sehingga ia bisa melindungi pula orang lain dan melaksanakan dharma/ tugasnya terhadap wanita pasangan hidupnya (ngayomi, ngayemi, ngayani, ngancani, nganaki) dan membesarkan anak-anaknya.

2.       Wanita
Wanita bukan hanya sekedar wanita, tetapi isteri, pasangan hidup yang benar-benar wanita sebagai pasangan/ penyeimbang hidupnya. Wanita dan pria ibarat bongkot anah panah (nock) dan mata panah (point). Tanpa bongkot maka anak panah tak bisa didorong oleh tali busur. Maka wanita berfungsi memberikan dorongan sekaligus alasan untuk menjalani hidup. Wanita memberikan visi dan misi, motivasi, dan memelihara daya juang suaminya. Selain itu wanita adalah sifat feminin yang mengimbangi sifat maskulin lelakinya. Seorang pria dikatakan “jantan” apabila disanding oleh seorang wanita. Lagipula, Tuhan menciptakan lelaki berpasangan dengan wanita, baik secara biologis maupun psikologis. Seperti diatas tadi, dharma seorang lelaki terhadap wanitanya adalah ngayomi (melindungi), ngayemi (memberi rasa tenteram/ ayem), ngayani (mencukupi kebutuhannya), ngancani (menemani dalam arti yang luas), dan terakhir nganaki (memberi keturunan, menanamkan benihnya supaya berketurunan). Jadi untuk melaksanakan dharma tersebut seorang pria haruslah bersanding/ berpasangan dengan seorang wanita tulen. Untuk kesempurnaan seorang wanita, akan kita bahas di lain tempat.

3.       Turangga (kuda)
Kuda dalam dunia kuno adalah kendaraan. Arti dari sandi turangga bukan sekedar kuda secara harfiah, tetapi juga ‘kendaraan’ dalam  arti luas. Kendaraan adalah sesuatu yang bisa membawa orang itu kemanapun. Di dunia modern, ini bisa berupa ilmu pengetahuan, keahlian, nama baik, dlsb. Artinya, seorang pria harus memiliki mobilitas atau kemampuan untuk bepergian, karena ia harus mengurus banyak hal di luar rumahnya. Arti lainnya adalah sebagai wawasan yang luas. Pria tidak boleh berwawasan sempit karena ia harus memimpin dirinya sendiri dan keluarganya, ia harus bisa memberikan arah kehidupan dan membawa keluarganya menuju kemajuan.

4.       Kukila (burung)
Secara tradisional, banyak pria Jawa memelihara burung perkutut. Sebenarnya arti dari sandi burung ini ialah peliharaan, namun dibedakan dengan sapi atau kambing, burung adalah piaraan istimewa. Burung berarti piaraan kesayangan, yang tidak diambil hasilnya secara langsung seperti kambing dan sapi tapi dipelihara sungguh-sungguh. Jadi ini sebenarnya mengacu pada hobi, atau penyaluran energi mental yang berlebih. Meskipun punya pasangan/ isteri seorang wanita, lelaki tetap perlu menyalurkan hobi sebagai pelengkap kehidupannya. Ingat, sekali lagi, pelengkap. Hobi tidak mungkin jadi utama, tapi tanpa hobi hidupnya timpang, ada kegelisahan batin yang tak tersalurkan. Apalagi di hari tua, seorang pria perlu menyalurkan energinya pada kegiatan yang menyenangkan. Ini banyak tidak dipahami oleh kaum wanita, apakah mencintai seorang wanita tidak cukup untuk kehidupan seorang lelaki? Ataukah secantik apapun wanita tetap kalah dengan seekor burung? Tentu tidak. Hobi adalah pelengkap, bukan segalanya. Tapi dengan hobi, isteri tidak akan terabaikan dan pria tetap memelihara kesenangannya. Pria tetap butuh bersenang-senang meskipun telah mendapatkan cinta seorang wanita. Hobi bisa berwujud macam-macam mulai dari memlihara hewan kesayangan hingga kegiatan olahraga.

5.       Curiga (keris)
Dalam khazanah Jawa, keris adalah tosan aji atau wesi aji. Tosan berarti atosan atau katosan alias kehebatan, sementara aji berarti harga, nilai, bobot, makna, atau juga kemuliaan. Orang yang dimuliakan dalam masyarakat disebut orang yang kajen atau diajeni. Jadi, keris adalah besi yang dimuliakan atau diajeni, berbeda dengan peralatan besi lainnya seperti pisau, kapak, cangkul, dll. Keris itu dimuliakan dan dalam kepercayaan kuno, keris adalah sumber kemuliaan karena mempengaruhi pemiliknya menjadi berwibawa, ditakuti, dlsb. Arti dari sandi curiga/ keris adalah bahwa seorang pria harus memiliki ajian atau sesuatu yang membuatnya dihormati di masyarakat, atau kadang ditakuti. Hal ini secara luas berarti ilmu pengetahuan, keahlian atau profesionalisme, derajat pangkat, kedudukan tertentu, jabatan, ataupun perilaku dan budi pekerti luhur yang membuatnya disegani sebagai orang baik, orang yang dapat dipercaya, atau orang bijak. 

Sudah jelas bahwa konsep kesempurnaan dalamkhasanah Jawa berarti kualitas individu yang diwujudkan dalam hal-hal konkrit dalam bermasyarakat. Jadi bukan hanya sekedar penampilan  atau kepemilikan kebendaan belaka. Bila seorang pria telah memiliki kelima hal diatas maka hidupnya dianggap telah sempurna sebagai ksatria. Karena di dalamnya terkandung pula unsur-unsur keagamaan, kemasyarakatan, dan norma susila serta dasar falsafah adiluhung. Sekian.
Selengkapnya

Jumat, 07 November 2014

BELADIRI: Integrasi Pikiran-Tubuh-Jiwa dalam poros Spiritualitas


Tujuan berlatih beladiri, seni-beladiri, dan Seni beladiri berdasar filosofi bukan semata-mata melatih senjata pembunuh seperti cakar atau taring binatang buas. Awalnya manusia menyadari keterbatasannya secara fisik lalu mengupayakan cara melindungi diri terhadap serangan binatang, dan berlanjut terhadap serangan manusia lain. Dari ilmu jaga diri berubah menjadi bela diri, lalu dibudayakan menjadi sebuah seni. Seni beladiri seperti sebuah aktivitas fisik yang mengembangkan kekuatan raga ternyata berpengaruh pada kekuatan jiwa. Menguatkan atau melatih kemampuan tertentu dari anggota badan kita membentuk suatu kesatuan sifat-sifat yang mewarnai kepribadian kita. Misalnya kedisiplinan, keuletan, kewaspadaan, dan akhirnya ketenangan. Itulah warna-warni yang didapat dari hasil latihan secara berulang dan terus-menerus.

Tidak heran apabila ragam seni beladiri berkembang disesuaikan dengan karakter manusia yang dipengaruhi iklim dan kondisi geografis. Tidak heran pula latihan beladiri tertentu membentuk karakter manusianya. Misalnya, seorang yang berlatih gaya tinju selatan yang menekankan gerakan strategis jarak dekat akan memiliki karakter kepribadian berbeda dengan rata-rata orang yang berlatih gaya tendangan utara. Beladiri yang menekankan pada menangkis dan membentur akan mempunyai efek kejiwaan yang berbeda dengan beladiri dengan tipe menyerang sambil menghindar. Tipe atau karakter kepribadian, khususnya kecenderungan dalam menghadapi masalah sangat erat kaitannya dengan tipe atau karakter seni beladiri atau teknik yang dilatih. Hal ini bukan barang baru, sebab dalam ilmu psikologi khususnya psikologi proyektif dapat ditemukan bahwa penggambaran karakter internal (jiwa) dapat dilihat dari karakter eksternal (karya atau visualisasi lain seperti gambar, tulisan, dll.).

Sebelum lebih jauh, jika kita tilik konsep dasarnya, jiwa akan kita temukan sebagai elemen diri yang tumbuh berkembang seiring perkembangan diri. Jiwa turut menjadi respon dari pembelajaran terhadap dunia nyata. Jiwa juga merupakan hasil dari tubuh dan aspek internal bawaan, yang sering disebut ruhaniah (jasmani-ruhani). Namun jiwa bukan merupakan satu hal yang mandiri melainkan kesatuan dari berbagai aspek, seperti juga kecerdasan yang terbagi menjadi banyak bagian. Dalam segi visual (inderawi) jiwa adalah penggerak dari perilaku, atau kecenderungan bagaimana cara seseorang merespon sesuatu dari dalam (tubuh fisik)maupun luar dirinya (stimulus luar). Jadi jiwa diamati dengan perilaku sehingga ilmu kejiwaan sebenarnya adalah ilmu perilaku. Namun apa yang membedakan perilaku orang satu dengan lainnya bukanlah semata-mata dari segi kuantitasnya saja. Ada hal-hal yang dinilai secara kualitas berdasarkan makna atau bobot nilai tertentu. Itulah yang kemudian menjadikan orang dikenal sebagai pemilik jiwa yang kuat atau lemah. Jika orang mudah menyerah, misalnya, maka dikatakan ia lemah meskipun secara fisik ia berotot.

Pikiran, identik dengan kesadaran. Pikiran bukan hanya logika atau kecerdasan, tetapi juga aktivitas dan seberapa aktif proses berpikir itu terjadi/ dilakukan. Pikiran (mind) adalah sebuah ke-ada-an dan ke-ber-ada-an, yaitu kondisi dan sekaligus eksistensi dari suatu elemen diri yang berfungsi sebagai alat menalar segala sesuatu, secara aktif. Pikiran itu hidup, tapi tidak selalu dihidupkan dan bahkan tidak selalu menghidupkan. Pikiran dihidupkan bila difungsikan dengan baik sesuai fitrahnya. Adakah yang tidak berfikir? Banyak, yaitu bila orang bertindak secara serampangan, enggan menimbang-nimbang terlebih dahulu dan hanya menuruti suatu dorongan dari dalam dirinya. Pikiran akan menghidupkan diri dan jiwa apabila membawa tubuh berperilaku yang bermoral, bermakna, atau bermanfaat bagi semua. Dengan perilaku yang bermanfaat maka diri akan merasakan pencerahan atau kebahagiaan sehingga selaras antara pikiran, tindakan, dan perasaan. Sebaliknya, diri akan merasakan pertentangan ketika melakukan perbuatan yang melanggar prinsip alamiah, membuat kerusakan, dan menyakiti sesuatu. Pertentangan ini disebabkan diri mempunyai dasar dorongan terhadap kebaikan sebagai fitrah alami manusia, namun tubuh fisik digerakkan menuruti dorongan lain yang tidak dikendalikan oleh kesadaran, inilah yang disebut hawa nafsu.

Kesadaran adalah suatu kondisi saat diri sadar dan menyadari (conscious and aware), atau waspada. Kesadaran dekat dengan kehati-hatian yang artinya menggunakan hati atau menakar, menimbang-nimbang dan memperhitungkan. Sadar adalah mengerti apa yang terjadi, apa yang dilakukan beserta segudang bawaan dari tindakannya itu. Jadi bila seseorang tidak sadar ia cenderung berlaku salah dan merusak. Adakah orang yang tidak sadar? Ada. Antara lain jika kita pernah mengalami tindakan spontanitas, keceplosan ngomong, dan melakukan sesuatu saat perhatian kita teralihkan, maka saat itulah kita sadar tapi tidak menyadari alias tidak sadar sebenarnya.

Fisik adalah manifestasi (pengejawantahan) dari jiwa, dan pikiran adalah penggeraknya. Fisik juga berlaku sebagai pembentuk dan pelatih jiwa, dengan pikiran sebagai pengendalinya. Tujuan berlatih beladiri adalah mengintegrasikan antara tubuh fisik, jiwa, dan pikiran agar bisa selaras. Latihan beladiri adalah melakukan suatu hal yang tertata dengan kesadaran, diawali dengan niat kuat dan sadar (kemauan) serta dikendalikan supaya memenuhi target tertentu dan tidak menyerah di tengah jalan. Untuk tidak menyerah, fisik dikendalikan oleh pikiran. Agar pikiran mampu mengendalikan, perlu adanya kesadaran. Jadi mengolah fisik didahului dengan memantapkan pikiran ternyata juga didahului dengan mengaktifkan kesadaran. Lebih lanjut, hasil latihan beladiri ternyata menghidupkan baik fisik (sehat) maupun mental (pikiran, perasaan, dan kesadaran itu sendiri). Sehingga latihan beladiri mempunyai suatu puncak yang berlapis-lapis bernama “taraf kesadaran”. Semakin tinggi tingkatan ilmu beladirinya, orang memiliki taraf kesadaran yang lebih tinggi. Dari sinilah muncul sebuah konsep moralitas (wu de) yang bukan hanya untuk mengendalikan kekuatan yang dimiliki, namun lebih kepada bagaimana orang berpikir dan bertindak secara nilai-nilai yang lebih unggul/ mulia.

Tindakan, pikiran, dan perasaan yang disadari menjadi status mental yang lebih mulia ketimbang kondisi biasa (orang yang tidak berproses dengan disiplin beladiri). Kita tidak akan bisa melepaskan status mental dengan elemen dasar lain yaitu spiritualitas. Bagaimanapun jiwa (mental secara spesifik) adalah hasil percampuran atau area pertemuan dari elemen fisik dan spirit (ruh). Jiwa mempunyai sifat fisik yang disebut hawa nafsu, dorongan atau keinginan terhadap kebendaan dan hal-hal biologis. Namun jiwa juga mempunyai kecenderungan ruhiyah yaitu pasrah dan kedamaian, cinta kasih serta kebahagiaan. Termasuk rasa takut dan marah, cemburu dan iri, bahkan dendam, adalah anak-anak dari elemen-elemen dalam jiwa yang dimotori oleh sifat fisik dan ruhani. Bedanya, elemen negative seperti takut atau marah lebih bernuansa fisik, misalnya takut mati, marah karena tidak jadi mendapat yang dibutuhkan, dll. Sedangkan kedamaian, cinta kasih dan kebaikan adalah elemen ‘tenang’ yang merupakan pengaruh ruhaniah. Semua aspek internal itu akan dikendalikan oleh kesadaran dengan alat bernama pikiran. Semakin kuat kesadaran, semakin kuat fungsi pikiran. Pikiran yang hanya berfungsi secara logis (kecerdasan) adalah pikiran yang lemah, karena tidak mampu menggerakkan jiwa dan tubuh dalam perilaku. Inilah yang sering menjadikan distorsi atau ketidaksesuaian antara pikiran dan perilaku. Misalnya di satu sisi orang mengakui bahwa merokok itu tidak sehat tapi ia tetap saja merokok meskipun tidak terlalu mencandu.

Beladiri bertujuan untuk meraih taraf kesadaran yang lebih tinggi, selalu lebih tinggi, karena diatas langit masih ada langit, kata pepatah. Taraf kesadaran menjadikan nilai kemanusiaan yang lebih baik, Nampak dari perilaku dan tutur kata, misalnya. Artinya beladiri berbicara soal kualitas, bukan semata-mata kuantitas. Soal kemampuan dalam beladiri, jika akhirnya hasil latihan hanya diberatkan pada aspek mental bukannya fisik, maka akan menjadi harta kekayaan. Lebih baik punya tapi tidak butuh daripada butuh tapi tidak punya. Lebih baik bisa membunuh orang tapi tidak perlu membunuh, daripada membunuh tanpa keperluan atau perlu membunuh tapi tidak mampu. 

Akhirnya, diketahui bahwa tubuh fisik, pikiran-kesadaran, dan jiwa semuanya berintegrasi dalam poros dasar/ utama yaitu spiritualitas. Spirit adalah dasar dari fisik, seperti chi yang menjadi pembentuk/ unsur dasar segala sesuatu di alam semesta. Memahami spiritualitas adalah memahami betapa kita sebenarnya sering terjebak dalam ilusi-ilusi seperti ilusi kebendaan, ilusi visual, dan ilusi pikiran (fantasi). Tidak ada yang sebenarnya terpisah, semuanya menyatu sebagai kesatuan (integral), antara bagian-bagian tubuh, antara kelima elemen (air, api, tanah, kayu, udara), antara bumi dan langit, dan antara tubuh-jiwa-pikiran. Spiritual adalah bicara soal hakikat dasar, kembali ke asal dengan sifat-sifatnya yaitu alamiah. Maka dari itu seseorang akan sehat apabila tidak ada pemisahan antara tubuh-pikiran-jiwa atau memperlakukan semua itu sebagai suatu kesatuan. Berolah pikir saja atau berolah fisik saja pastilah tidak sehat. Antara yang internal dan eksternal juga harus diintegrasikan sehingga orang tidak usah membentuk ego dan alter-ego ala Spiderman-Peter Parker, atau Batman-Bruce Wayne. Orang harus menyatukan antara ego dan alter-ego sehingga menjadi transparan dan apa adanya, tidak bertopeng, tidak berlagak, tidak menutup-nutupi karena rasa takut yang tidak perlu. Hilangnya rasa takut (insecurity of status) akan tumbuh menjadi keberanian dan kewibawaan. Itulah yang disebut ‘Shen’ (ketenangan/ wibawa). Keberanian pula diikuti ketenangan dan kedamaian. Itulah yang kemudian disebut ‘Sum’ alias kejernihan hati, ibarat air jernih yang akan tetap jernih meski diaduk-aduk seperti apapun. 
(ditulis sebagai hasil studi literatur dan diskusi tentang Tai Chi Chuan)
Selengkapnya

Entri Populer