Minggu, 25 Maret 2012

Historical Re-Enactment Group dari Manca Negara, dimana Indonesia?

Seberapa penghargaan anda pada sejarah dan budaya? Dalam pikiran saya, sejarah dan budaya bangsa nilainya sangat rendah dibandingkan dengan info tentang trend dan budaya populer seperti musik dan drama Korea. Pemikiran orang muda, khususnya waktu saya masih muda dulu (sekarang sudah uzur? Remaja kali maksudnya, gan!) saya berpandangan bahwa kata “budaya” identik dengan lagu daerah, tari-tarian, wayang, dan bahasa daerah yang memusingkan seperti dalang wayang kulit membawakan ceritanya. Yang bikin semua itu ‘neg’ adalah, semua itu berhubungan dengan ‘orang tua’ sedangkan orang tua adalah subjek yang paling menyebalkan di masa remaja. Budaya itu norak seperti orang tua, karena orang tua itu suka menasehati, menyebalkan, akhirnya budaya menjadi menyebalkan! Sungguh pemikiran yang aneh...
Sementara itu, sejarah identik dengan hafalan tentang nama orang, nama peristiwa, tahun plus tanggal-tanggalnya, nama kerajaan, prasasti, artefak, dan homo erectus. Ditambah lagi ingatan bahwa guru sejarah itu menyebalkan karena tidak pernah senyum tapi easy going tetapi nilainya bakhil! Sejarah juga menjadi menyebalkan bagi saya.
Anehnya, semua itu berubah ketika saya masuk SMA. Saya menjadi suka sejarah dan suka dengan budaya. Kurun waktunya kira-kira bertepatan dengan pergantian trend dari rock’n roll menjadi breakdance disusul boyband. Mulainya muncul kaum punk dan banyaknya gadis yang mulai berjilbab. Saya anggap itu aneh, karena saya jadi memikirkan kenapa hanya saya yang begitu, dan kira-kira anda tahu apa sebabnya?
Gampang! Saya mengenal maen game strategi. Dari sana saya mulai melihat dan membaca sejarah internasional, sesuatu yang tidak diceritakan oleh guru sejarah karena beliau melulu menceritakan tentang PBB dan jaman prasejarah. Tapi jaman antara prasejarah dengan masa munculnya J.J. Rosseau tidak disinggung, aneh. Dari situ saya juga makin tertarik dengan sejarah negeri sendiri oleh karena dalam sejarah banyak perangnya (anak laki-laki selalu suka perang-perangan?). Ternyata betapa manisnya cerita-cerita tentang kerajaan masa lampau, dan uniknya, dari membaca sejarah dunia, saya juga otomatis belajar tentang ilmu ekonomi, politik, fisika, persenjataan, dan ilmu agama. Bahkan saya berkesimpulan bahwa bangsa kita takkan dijajah Belanda 350 tahun kalau Imperium Islam Turki Osmani tidak menaklukkan Konstantinopel. Itu logika yang saya baru temukan di SMA padahal saya belajar itu sejak SMP.
Tapi tidak semua orang suka dengan yang lampau, kalau jaman sekarang dibilang kamseupay alias jadul. Kalau saya amati, trend itu selalu berubah, dari Elvis menjadi Jacko, dari Roma Irama menjadi Ebiet G. Ade, lalu Boomerang, Slank, akhirnya Sheila on 7, Peterpan, dan juga.... Cherrybelle! Mengikuti trend hanya membuat saya terombang ambing. Tapi itu boleh juga, bagus untuk bersosialisasi. Hanya saja, mengikuti trend tapi tidak punya sesuatu yang ‘still’ rasanya seperti tidak memiliki ‘aku’. Jati diri tidak dibentuk dari bagaimana orang memuji pakaianku, tapi bagaimana pakaian yang aku sukai. Kembali ke sejarah, masa lalu mengajarkan banyak contoh, seperti prinsip peperangan dalam Sun Tzu yang ternyata dipakai juga dalam PD II oleh Pasukan Sekutu dalam melawan Nazi Jerman.

Oke, enak ya, cerita tentang diri sendiri..? itu hanya kilasan masa lalu. Tapi yang menggairahkan saat ini adalah adanya suatu kelompok yang disebut Historical Re-enactment Group. Kelompok-kelompok ini banyak sekali di luar negeri. Mereka adalah kelompok yang hobinya melakukan peringatan terhadap peristiwa bersejarah, dengan cara membuat semacam pertunjukan atau peniruan terhadap peristiwa aslinya. Misalnya di Jepang dengan Festival Sekigahara, orang berduyun-duyun datang ke lapangan, memakai kostum samurai, lalu memerankan tokoh atau pihak-pihak yang ada dalam peristiwa Perang Sekigahara beberapa abad silam. Hasilnya adalah pertunjukan, seperti karnaval, tapi lebih ke arah drama karena ada ceritanya. Demikian pula di Inggris, orang memerankan pasukan Anglo-Saxon dan Viking untuk memerankan kembali peristiwa penyerbuan bangsa Viking ke Inggris. Di Eropa pun hal seperti itu banyak sekali. Tentu saja tidak semua peristiwa diperankan oleh satu kelompok seperti orderan main ketoprak. Ada kelompok-kelompok yang mengkhususkan diri pada peristiwa tertentu, misalnya beberapa kelompok di Australia dan Kanada yang meniru gaya hidup para penjelajah pertama benua Amerika. Berpakaian seperti orang abad ke-17, membawa senapan sundut, dan makan dengan menu yang dimirip-miripkan dengan makanan di jaman itu. Semua itu menjadi bagian dari pariwisata, dan bahkan bisnis swasta.
Jika melihat di dalam negeri, mungkin bisa kita temukan seperti di Jogjakarta, ketika perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW ada Garebeg Maulud. Di sana kita bisa melihat para prajurit Keraton berbaris dengan kostum yang unik-unik. Memang, di Indonesia hanya sedikit penghargaan sejarah dengan cara seperti itu. Sejarah dan budaya juga tidak menjadi bagian favorit masyarakat. Mungkin karena keterbatasan, sebab di negara lain budaya dan sejarah menjadi hal penting, terutama untuk negara-negara yang membutuhkan jati diri kebangsaan yang jelas seperti bangsa-bangsa di Eropa. Indonesia justru makin tidak jelas jati dirinya karena kita lebih suka mengikuti trend manca negara.
Berkaca dari Korea Selatan, negeri itu bahkan sejak lama sengaja menggunakan budaya Korea sebagai sumber devisa negara. Korea membawa Taekwondo sebagai olah raga beladiri paling laris sedunia, musik (K-Pop), maupun drama Korea. Ini semua bukan hanya trend, tapi memang sengaja diarahkan ke sana. Makanya kalau anda merasa senang dengan mereka, anda tidaklah berdosa, hanya saja pernahkah berpikir tentang kondisi negeri sendiri?

Contoh lain ekspo budaya adalah dari Jepang dengan komik manga, yang paling terkenal adalah Doraemon. Hebatnya lagi, samurai, prajurit masa lalu itu berhasil memikat hati banyak orang lewat penokohannya dalam anime Samurai X, sebuah terobosan modern untuk mengangkat sesuatu yang tradisional.
Kesimpulannya, orang manca negara pun dengan gembira melestarikan budaya dan menjaga sejarahnya. Bagaimana dengan Indonesia? Heran tapi nyata, saya sendiri masih berpikir bahwa Gatotkaca masih kalah populer dengan Kenshin Himura karena kalau saya membayangkan Gatotkaca langsung teringat wayang orang, dan keingat lagi dengan trauma kejengkelan saya terhadap orang tua yang gak maju-maju. Mungkin Indonesia perlu orang-orang seperti Jan Mintaraga atau komikus lain untuk mencitrakan kembali tokoh-tokoh legendaris dengan cara modern, tidak seperti pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Bukan berarti wayang kulit jelek, tapi sebenarnya banyak cara untuk membuat sejarah dan budaya menjadi renyah untuk dinikmati siapapun, terutama kalangan muda.
Bagaimana? Mau bikin re-enactment group dengan saya? Mungkin pengen mengisahkan kembali Perang Diponegoro?

My salute to: Sujiwo Tedjo, Ki Asep Sunarya, Jan Mintaraga, Khoo Ping Hoo, dan tak lupa Sawungkampret & Na’ip hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer