Selasa, 17 Maret 2015

Pendidikan anak: Menjadi Boss atau Ayah?



Seorang boss akan melakukan hal yang berbeda dengan seorang ayah. Jika hubungan ayah-anak disamakan dengan boss-pegawai. Seorang boss yang baik akan meninggikan nama karyawan/ pegawainya dihadapan boss dari perusahaan lain. Mungkin dia akan memuji karyawannya tersebut atau menyebutnya sebagai pegawai yang berkualitas, jika berurusan dengan orang lain atau urusan luar perusahaan. 

Pegawai adalah asset perusahaan, juga bisa menjadi “muka” bagi perusahaan tersebut. Jika si boss memuji karyawannya di depan perusahaan lain, maka ia menjaga nama baik perusahaannya. Tetapi kebalikannya, di dalam internal perusahaan si boss justru akan memaki-maki atau gampang memarahi karyawannya itu jika kerjanya kurang beres sedikit saja. Bahkan sering meski sudah bekerja dengan baik, si boss seolah tetap tidak puas dengan karyawannya. Hal ini adalah untuk menjaga performance kerja para karyawannya, tidak dengan pujian atau semacamnya. Sebab reward yang diberikan pada karyawan sudah jelas dan sesuai dengan system yang diberlakukan. Karyawan memperoleh gaji, plus lembur dan atau bonus-bonus tertentu sesuai prestasi dan aktivitas kerjanya. Reward dari si boss terhadap karyawan tidak berupa kelunakan hati dengan kata-kata manis atau pujian melainkan hak yang memang telah dijanjikan. Jika karyawan dipuji, maka ia akan cenderung lalai dan bekerja semaunya sendiri, karena sudah digaji, dapat bonus, plus tanggapan psikologis yang menyenangkan, maka merasa diatas anginlah dia. 

Berbeda dengan itu, hubungan ayah-anak tidak bisa disamakan dengan boss-karyawan. Meskipun, ironisnya, apa yang terjadi justru berkebalikan. Seorang ayah (ataupun orangtua secara umum) justru melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang boss. Coba tengok perbandingan berikut ini:

1.       Meninggikan di luar dan merendahkan di dalam
Orangtua ketika membawa anaknya berhadapan dengan masyarakat umum atau keluarga lain, mestinya tidak meninggikan anaknya sendiri. Jika iya, dan di dalam rumah si anak dicela atau dikomentari negative, maka orang tua telah dua kali menjatuhkan si anak beserta keluarganya sendiri. Memuji-muji atau meninggikan anak dihadapan umum menyebabkan persaingan dengan orang lain yang juga sama-sama punya anak, seolah saingan “anakku bisa begini, anakmu bisa apa?”. Hal ini juga akan menyebabkan munculnya  “forum perbandingan” yang berujung perlakuan negative dan dehumanisasi terhadap anak di dalam rumah. Anak akan merasa sangat tidak enak jika dibandingkan dengan anak lain, atau disuruh mencapai apa yang dicapai anak lain. Karena ia punya bakat sendiri dan minat yang berbeda. Meninggikan anak di luar keluarga akan menciptakan ketegangan antar orangtua (persaingan), dan merendahkannya di dalam akan menyebabkan si anak merasa tidak diakui, tidak diperhatikan dan tidak dikasih-sayangi. Pengaruhnya ke prestasi, mungkin akan makin menurun, dan atau si anak akan stress lalu mengarah pada perilaku kenakalan tertentu.

2.       Meninggikan di luar dan di dalam
Jika di luar dipuji-puji dan di dalam keluarga juga demikian, maka si anak akan merasa selalu hebat. Ini justru membuatnya merasa tidak pernah salah, selalu benar, dan sudah cukup dengan apa yang dicapai. Tidak akan ada dorongan untuk berprestasi, dan kalau bertindak biasanya keluar dari nilai-nilai sekenanya.

3.       Merendahkan di luar dan di dalam
Terkadang karena rasa tidak enak pada orang lain, atau takut dikira sombong, maka orangtua merendahkan anaknya (lebih rendah daripada kondisi normalnya anak orang lain). Hal ini sekilas biasa saja, tapi jika sudah sampai taraf mencela, misalnya mengatakan bahwa anak saya itu jeleknya begini…begitu… maka itu bisa dianggap serius oleh orang lain. Kemudian orang lain bisa beranggapan bahwa kondisi keluarga si orangtua tersebut memang tidak baik, dan akhirnya akan menyebabkan pandangan negatif atau meremehkan keluarga tersebut. Sejalan dengan itu, bila di dalam rumah orangtua justru bersikap sama yaitu merendahkan anaknya (mencela) maka si anak akan beranggapan betapa memang buruknya dirinya, dan atau dirinya turut menyebabkan keburukan dalam keluarganya. Ia akan hidup dengan dipenuhi penyesalan, ketidakpercayaan diri, dan akhirnya motivasi dan harga diri yang rendah. Orang seperti ini rentan menjadi korban bullying di lingkungan manapun ia berada, dan tidak punya mental untuk mencapai sesuatu yang besar.

4.       Merendahkan di luar tapi meninggikan di dalam
Jika anak punya prestasi sekecil apapun, maka di dunia luar kita orangtua lebih baik mengatakan bahwa itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Merendahkan dalam artian tidak memuji ketinggian, namun hanya menjadikannya “level normal”, dan tidak mencela maka itulah yang semestinya dilakukan para orangtua. Hal itu akan menghindarkan kita dari anggapan sombong, sekaligus anggapan kondisi buruk keluarga, sebab semuanya baik-baik saja atau biasa-biasa saja, tidak terlalu istimewa. Sementara itu, di dalam rumah, si anak dimotivasi dengan memberikan apresiasi atau sedikit pujian sewajarnya. Katakan saja bahwa ia telah melakukan hal yang bagus, mencapai prestasi yang baik, atau perjuangannya lebih berarti daripada hasil yang didapat. Hanya saja, yang perlu diingat adalah meninggikan anak ataupun memuji ini harus wajar saja, tidak berlebihan. Sampaikan juga kekecewaan kita jika ada, namun tetap kita mengapresiasi apa yang ia lakukan dan berikan dorongan untuk terus maju menjadi lebih baik dari dulu dan sekarang. Dengan begitu, anak akan menjadi percaya diri pada kemampuannya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain serta termotivasi untuk maju dengan apa yang ia miliki tanpa merasa rendah disbanding orang lain. Plus, keluarga akan terhindar dari omongan jelek atau diremehkan orang lain. Seperti kata pepatah kuno Taoisme, “pohon yang besar dan tinggi akan ditebang dan dirubuhkan”, maka janganlah kita meninggikan diri di hadapan orang lain, agar tidak menantang mereka untuk merendahkan atau menjatuhkan kita.

Jadi, yang disebut merendahkan sebenarnya hanya normalisasi atau netralisasi. Prinsip yang mengalir seperlunya ini adalah bagian dari cara hidup yang harmonis, tidak merusak atau membentur apa yang ada. Sebagai seorang boss pasti berbeda dengan menjadi seorang ayah/ orangtua, sebab tujuannya juga berbeda. Salam.
Selengkapnya

Entri Populer