Selasa, 20 Maret 2012

Sebuah Cerita di Awal Bulan

Jidatku berkerut mendengar suara dari speaker Hpku. Sedetik rasanya ada semacam jarum, segede jarum goni mungkin, rasanya menusuk sesuatu di rongga dadaku. Ya, hatiku rasanya tertusuk, sakiiiittt..... tapi tak apalah. Aku menghibur diriku sendiri, kuumpamakan aku seperti Nabi Muhammad. Loh kok bisa? Ya bisa dong, jawabku pada diri sendiri.
“Dasar orang-orang sombong....mmmm, mungkin lebih tepatnya belagu”, pikirku.
Tapi aku juga tak bisa berbuat lebih jauh kecuali memaki-maki diriku selama dua setengah detik, lalu aku terduduk dalam tanya, kenapa memangnya aku merasa sakit hati? Aku tak harus begini atau begitu, dan keadaan juga tak mesti begini begitu? Tidak ada yang harus dipaksakan! Yang aneh itu kenapa dengan kejadian seperti ini saja aku sakit hati. Aku sakit? Ya, aku memang ‘sakit’. Gerutuku.

“Maaf mas, ibu-ibu di sekitar blok sini bilang, kalau senam tai chi itu tidak menarik. Soalnya terlalu lambat, tidak dapat keringat, dan lagi pusing mikirnya mau bergerak bagaimana. Mereka lebih suka senam aerobik yang biasa jingkrak-jingkrak itu, soalnya ibu-ibu di sini itu masih berjiwa muda..” Itu suara yang ku tangkap.
Hah? Tidak berkeringat? Aku ingin meletup-letup membela diri bahwa melakukan senam tai chi itu tetap basah (sekali lagi, basah!) berkeringat. Lambat bukan berarti tidak berkeringat. Mereka saja yang belum pernah tahu kok bisa-bisanya berkomentar.
Jujur saja, aku benci dengan senam aerobik. Entah kenapa, tapi jika ku coba uraikan, ada sih beberapa alasan, misalnya:
Senam aerobik itu kan cuma mengikuti instruktur yang di depannya. Lebih jelasnya lagi, instruktur bergerak semau-maunya sendiri, dengan irama yang ia pasang sendiri seolah bilang,”nih gua bergerak, lo mo ngikut mo kagak terserah lo deh!”
Terakhir kali aku ngeliat acara senam aerobik instrukturnya laki, tapi seksi abis dan maho-maho gitu, gerakannya gemulai macam patukan ular kobra. Sementara yang dibelakangnya ibu-ibu berpantat gede-gede yang ikut gedubrakan ke kiri dan ke kanan gak jelas, sama sekali gak hapal gerakan dan gak bisa nyamain ama yang di depan. Mereka lebih tepatnya disebut “bergerak tak karuan” dan dalam bahasa Jawanya “Keponthal-ponthal” alias Ebiet G. Ade bilang “tertatih-tatih”.
But they liked it...! they enjoyed it...!
(hwarakadah..!)

“Halo? Ya, gimana tanggapannya?”
Okeiii...... mungkin aku merasa sakit hati karena dibandingin dengan sesuatu yang menurutku incomparable begitu. Menurut pengalamanku, senam ‘aerobik’ bukanlah aerobik yang sesungguhnya. Setiap olahraga bisa saja dibilang aerobik. Tapi yang namanya ‘aerob’ itu kan menggunakan napas. Sedangkan olahraga napas yang aku pernah geluti baik itu tenaga dalam, meditasi, yoga, ataupun sekarang ini tai chi, memberikan porsi napas/ oksigen yang optimal untuk tubuh, dibandingkan senam jingkrak-jingkrak. Apalagi reputasiku sebagai penderita sakit jantung sejak umur 24 tahun memberiku pengalaman buruk soal senam loncat-loncat itu. Pendek kata, senam aerobik bukanlah aerob yang sesungguhnya. But tai chi is..!
Juga, aku berpikir, kiranya ada yang menolak tai chi – biasanya – karena tidak tertarik. Tai chi identik dengan senamnya orang tua, sedangkan para ibu-ibu masih berjiwa muda, gak mau kalah ama anak-anaknya yang sudah bisa bikin anak, masih pengen “yhang-yhangan” sehingga masih pengen kelihatan cantik di mata suaminya, dan atau sehingga, suaminya tidak melirik tetangganya yang masih muda atau anak SMA seberang jalan.
Ttapi yang edan mungkin bukan mereka, melainkan aku.
Aku menganggap diriku seperrti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berdakwah trus ditolak saja beliau bisa sakit hati, sampai-sampai Allah SWT berulangkali harus mengelus-elus kepala utusanNya itu (baca: menghibur) dengan ayat-ayat dalam Al Quran yang berpesan “Jangan sakit hati lah...”.
Aku? Menawarkan senam tai chi? Untuk apa?
Tiba-tiba aku teringat Kanjeng Nabi pernah berpesan,”Jangan kamu menolak memberi ilmu pada orang yang membutuhkan, karena itu perbuatan dzolim. Jangan pula memberi ilmu pada orang yang tidak membutuhkan, karena itu juga dzolim.”
Ya, itu dzolim pada diri sendiri. Makanya jaman dulu guru itu harus mengetes dulu calon muridnya beneran serius apa nggak, kalau nggak mendingan pergi daripada bikin si guru buang-buang energi.
Untuk apa aku sakit hati karena apa yang kupahami disalah artikan orang lain? Tapi memang menyebalkan kok, ya sudah... tidak perlu ada pembalasan. Aku hanya tak mau lagi berurusan dengan mereka. Inilah kenapa aku tidak mau jadi pedagang seperti bapakku, karena aku lebih suka menjalin silaturahmi. Kalau aku jadi pedagang sudah banyak pasti aku memutus silaturahmi karena melihat muka orang yang pernah menolakku bisa membuatku serasa dikeloni anaconda...hiiii....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer