Selasa, 01 Mei 2012

Nina Kenapa Kau Pergi?

Lima anak itu telah mencerahkan hari-hariku sejak Oktober 2011 lalu. Aku sangat menikmati dan bersyukur atas semua kegiatan yang kami lakukan bersama. Kami belajar, bernyanyi, bermain, dan bercanda satu sama lain. Pekerjaanku sebagai guru les privat membuatku bertemu dengan banyak anak-anak. Aku mengajar mereka di sekolah maupun di rumah. Tapi tak ada yang semanis di tempat itu. Lima anak-anakku, mereka berbeda-beda, namun menghadirkan suasana yang menyenangkan buat semua. Ryan yang terkecil, dia baru kelas satu di sebuah SD Kanisius. Dia sering berselisih paham atau berterngkar dengan Fiyya, yang juga kelas satu di sebuah SD Islam Terpadu (SDIT). Ryan memang anak yang aktif, seringkali caper, dan kadang usil terhadap teman-temannya yang perempuan. Dialah satu-satunya murid laki-laki di kelompok itu. Kadang ia tiba-tiba memulai omongan tentang sesuatu yang ia sukai, sesuatu yang diluar konteks materi yang sedang kami bahas, berusaha mengambil alih kendali kelas atau perhatian semuanya. Kadang ia juga mengusili teman-temannya dengan main jambak rambut, memeluk tiba-tiba, atau mengagetkan dari belakang. Semua menanggapinya seperti layaknya anak-anak, dan tidak ada yang mendendam, hanya kesal sementara. Ketika Ryan mengalihkan perhatian kelas pun aku selalu bisa menerimanya dengan sabar. Meskipun aku pernah juga marah karena pada saat ulangan (tes) dia berulangkali menawar agar soalnya dipermudah, atau meminta jawaban langsung. Dia suka dengan balapan Moto GP, jalan-jalan/pelesiran, dan sepak bola. Sering juga kalau dia agak kesal dengan ejekan teman-temannya tentang kemampuannya, dia berseloroh bahwa nanti dia akan masuk ke sekolah sepak bola (SSB) saja, biar di sana tidak ada pelajaran Bahasa Inggris. Tapi dia adalah anak yang cerdas dan daya ingatnya baik. Aku belajar konsistensi dengannya. Kalau ada perilaku atau ucapanku yang kurang konsisten, dia pasti akan mengingatkanku. Dia juga cepat tanggap, cepat memahami dan menghafal kosakata. Hanya saja, kemampuan menulisnya terburuk diantara empat yang lain. Ryan selalu paling lambat dalam hal menulis, selesainya paling akhir. Yang selalu berseteru dengan Ryan, adalah Luthfiyya. Anak SDIT itu sama-sama kerasnya dengan Ryan terutama dalam hal keyakinan. Aku sering mendamaikan mereka gara-gara bertengkar soal agama. Ryan yang penganut Katolik, rupanya sama fanatiknya dengan Fiyya yang muslimah. Setiap kali itu terjadi, aku cuma bilang, “sudah..sudah!! ini pelajaran Bahasa Inggris, bukan agama!”. Fiyya adalah anak yang lembut perasaannya. Dia gampang tersinggung, dan suka ngambek. Tapi dia bisa dengan mudah diobati dan tidak pendendam. Pada dasarnya dia adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Sifat moody yang sering berubah-ubah kadang membuatku harus ekstra perhatian pada apa yang sedang menjadi minatnya. Karena kalau dia sedang kurang berminat, pelajaran akan dia abaikan. Untungnya anggota yang lain, yang juga lebih tua, selalu mau mengikuti dan menyesuaikan pelajaran sehingga bisa berjalan dengan baik. Fiyya rupanya sangat terpengaruh dengan penilaian. Ia paling sering meminta hasil pekerjaannya atau aktifitas apapun diberi nilai. Ia juga yang pertama-tama selalu mempertanyakan ranking setiap kami mengadakan ulangan periodik. Oleh karena itu juga, sifat kompetitifnya tinggi, tapi jeleknya berkenaan dengan nilai itu ia juga sering minder dan takut kalau salah menjawab. Kalau tes, misal ada soal yang ia tak tahu, ia bersikeras untuk bisa menjawab sehingga akhirnya bingung dan kalut sendiri. Tapi nggak nangis kok…
Dua bintang kecilku, adalah Muna dan Fara. Mereka selevel diatas Fiyya, lebih dewasa, lebih cepat tanggap, dan mampu mengasuh adik-adiknya itu meskipun dalam keseharian mereka tak jauh berbeda. Pada saatnya istirahat mereka biasanya bermain ‘Roro Jonggrang jadi patung’, atau main injak kaki (aku tak tahu apa nama permainannya). Kulihat dalam hal bermain mereka masihlah anak-anak, tak ubahnya seperti Ryan dan Fiyya. Bersama dengan Nina, yang tertua di kelompok itu, mereka semua bermain dengan ceria. Dalam pelajaran pun, mereka berdua adalah yang paling semangat. Muna adalah pribadi yang penuh rasa ingin tahu. Ia selalu tertarik untuk mencoba dan tidak takut salah. Ia juga cepat menguasai materi karena ia paling ekspresif, meskipun kadang menolak giliran, siapa dulu yang harus maju atau mengerjakan. Tapi pada dasarnya ia adalah anak yang menikmati pelajaran, sekaligus mampu menjaga keceriaannya dengan bermain. Ia sangat jarang, bahkan mungkin tak pernah membuat masalah. Muna selalu bersaing dengan Fara sebagai teman akrab. Biasanya nilai tertinggi dipegang oleh Fara, tetapi mereka berdua saling mengimbangi dengan detail karakteristik nilai masing-masing. Fara, si bintang kelas yang rumahnya paling jauh dibandingkan keempat lainnya yang bertetangga, adalah anak yang cerdas. Usianya juga lebih dewasa dari Ryan dan Fiyya, serta temannya Muna yang sebenarnya tidak satu sekolah, membuatnya lebih pandai menangkap pelajaran. Ia memang menyukai pelajaran ini dan menyukai kelas. Bahkan di suatu kesempatan ia berkata pada ibunya yang sedang menjemputnya, “Bu, doain ya moga-moga minggu depan aku kepilih jadi ketua kelas..”. Setiap bulan aku menerapkan system rotasi ketua kelas di kelompok belajar itu. Anak-anak pun bersemangat dan saling bersaing, kecuali satu bintangku yang hilang, Nina. Nina itu pendiam. Suaranya lirih, pemalu, dan selalu menolak untuk mendapat giliran pertama. Untuk menjadi ketua kelas pun, ia selalu menyerahkan pada anak lain yang lebih berambisi seperti Ryan atau Fiyya. Meskipun, dia tak kehilangan keceriaanya dalam bermain bersama. Hanya saja, Nina sekarang sudah tidak ikut les lagi, tidak mau belajar dalam kelompok lagi. Nina adalah yang tertua, kelas empat SD. Tapi dalam pandanganku, sepertinya ia terlalu dewasa atau bahasa Jawanya “temuwo”. Sifat tertutup dan pemalunya membuat ia selalu nampak lebih dewasa, bahkan dari anak-anak seusianya. Menurut anak-anak yang lain, ia kadang memarahi mereka ketika bermain, memelototi atau menampakkan muka tak senang dalam keadaan tertentu. Anak-anak mulanya tidak terlalu menggubris itu semua. Tapi setelah kini dia pergi, pembicaraan itu mulai menghangat. Ada apa sebenarnya dengan Nina, kenapa ia tiba-tiba memutuskan untuk tidak mau les lagi? Orangtuanya sudah membujuknya, hasilnya nihil. Tetangga dan orangtua dari teman-teman lesnya juga menengoknya, mengajaknya bicara baik-baik dan penuh kasih sayang, tapi katanya ia justru menangis. Ketika itu Bu Mujiyati, salah satu orangtua murid yang juga tetangganya menanyakan apakah jika kurang nyaman, bagaimana kalau belajarnya dipindah ke rumah Nina saja. Tapi si anak malah menangis dan masuk ke kamar. Apa yang terjadi? Ada banyak yang berseliweran di pikiranku, mulai dari yang masuk akal hingga yang tidak. Aku mulai mengingat-ingat kembali kenapa dan apa saja yang terjadi selama kami belajar bersama. Sifat pemalunya memang kadang nampak sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak jujur, sesuatu yang menyimpan rahasia. Beberapa orang (tua dan anak) menduga ia merasa kurang nyaman karena dia paling tua sendiri di kelompok itu. Atau karena dia sendiri yang kurang ekspresif padahal lainnya ekspresif, dan bahkan gaduh. Tapi ada beberapa hal yang memang menarik dari kejadian di sana. Awal mulana begini, seperti biasa, aku memberikan PR pada setiap anak. PR memang tidak setiap hari kuberikan, kadang ada kadang tidak. Sebab mereka juga punya banyak PR sendiri dari sekolah masing-masing. Lagian dengan PR itu aku dapat menarik-ulur suasana agar tidak monoton. Suatu ketika aku memberikan sebuah PR yang sama untuk semuanya, dan pada hari berikutnya kami bertemu, ternyata Nina lupa mengerjakan. Aku tidak menghukumnya, hanya kemudian memberi PR lagi bersama dengan yang lain. Karena itulah PR untuk Nina menjadi dobel. Aku memintanya untuk “membayar” hutangnya minggu depan, itu cukup mudah dan waktunya masih seminggu, kataku. Meskipun sebenarnya kali itu sedikit berbeda, setelah ulangan periodik sebelumnya, aku menganalisa kelemahan dari masing-masing siswa dan kemudian PR yang kuberikan menjadi berbeda pada tiap anak. Semua menerima, hingga pada hari kami bertemu lagi, mereka semua siap menunjukkan hasil belajarnya di rumah. Nina tidak kelihatan. Teman-temannya bercerita bahwa ia mengaku lupa mengerjakan PR itu sehingga kalut, bingung, dan akhirnya lebih baik tidak berangkat. Aku pun berpesan pada anak lainnya, katakana pada Nina kalau dia tidak akan dihukum. Bagiku, yang penting waktu itu adalah dia berangkat agar siapa tahu kalau memang dia ada kelemahan atau kesulitan, aku justru membantunya mengerjakan “hutangnya”. Sebuah proses belajar yang cukup moderat menurutku. Tapi yang terjadi, Nina tetap tidak mau berangkat pada kesempatan berikutnya. Konon ia menangis setiap kali diingatkan masalah les. Luthfiyya, tetangganya bercerita padaku bahwa ketika dia menjenguk Nina ia justru mendapat perkataan yang kurang enak. Dia mengajak, “Mbak Nina, ayo les lagi biar pinter..” tapi justru Nina berteriak dari dalam rumah, “Kamu itu yang bodoh..!”. Fiyya kaget, dan melaporkan itu pada orangtua dan teman-temannya, dan juga padaku. Dari info-info sepihak itu aku berfikir, apakah pelajaranku terlalu sulit buat Nina? Mungkin, jika aku menyuruh anak-anak speaking atau sekedar mengucapkan kata-kata. Nina selalu lirih dan malu-malu dalam berbicara. Ia cenderung berlingsut di pojok dan sebisa mungkin hanya menulis atau mendengarkan, tidak maju, tidak bicara, tidak menyanyi. Ataukah, justru pelajaran yang kuberikan terlalu remeh buatnya? Padahal hasil tes nya menunjukkan ia juga tidak begitu menguasai materi. Jika diranking ia cuma dapat posisi ke tiga setelah Fara dan Muna yang padahal se kelas di bawahnya. Ataukah ia menganggap semua itu konyol dan kekanak-kanakan? Menyanyi, menari (bergerak), dan membaca keras-keras adalah aktivitas khas pelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak. Jika ia menganggap bahwa itu konyol dan kekanak-kanakan bukankah berarti ia telah berpikir lebih dewasa? Apakah ia telah puber lebih cepat di usianya yang baru kelas empat SD? I simply don’t understand or neither recognizes my faults. Did I do something wrong or did I say something bad to her? Mungkin sehubungan dengan materi yang kuberikan yaitu 5W+H yang terakhir adalah kata ‘Why’ yang mestinya ada. Why? Kenapa dia begitu? Apakah dia tersinggung? Apakah dia benci seperti dugaaan Muna dan Fiyya yang mengaku sering dipelototi, atau Ryan yang sering dimarahi pada saat bermain? Info lain, menurut teman-temannya pula, sebelumnya Nina juga ikut les dengan seseorang yang lain. Tapi les itu tidak menyenangkan karena selalu memberi PR, banyak PRnya. Apakah Nina begitu membenci les, karena merenggut waktunya untuk bermain? Sehubungan dengan pendidikan, aku ingat anekdot yang cukup lucu. “Esuk sekolah, sore les, bengi sinau. Kapan dolane?”. Ya, benar. Kalau pagi sekolah, sore les, dan malam belajar di rumah, terus kapan waktunya untuk bermain? Itu memang masalah anak jaman sekarang. Seolah banyak sekali ilmu yang harus mereka kejar. Sampai-sampai waktu bermain mereka terampas. Mungkin permasalahan Nina adalah masalah terpendam, tentang kepenatannya dalam sekolah dan belajar, atau sehubungan dengan orangtua atau lingkungan lainnya yang membuatnya jenuh. Mungkin juga secara personal ia punya masalah psikis yang mempengaruhi gaya belajar dan sekaligus minat belajarnya, seperti yang kutemui pada anak-anak guru di sebuah sekolah dulu, sebelum aku bertemu dengan Nina cs. Meskipun, entah kenapa sepertinya aku masih punya dugaan kuat tentang kedewasaan Nina yang terlalu awal, sehingga periode storm & stress sudah mulai dia rasakan. Aku tetap tak tahu, dan kami pun tetap melanjutkan proses belajar kami yang masih menyenangkan, tanpanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer