Selasa, 04 Desember 2012

Semilir 2: The Redemption

..Aku memaafkanmu, tapi aku tak lagi menerimamu dalam kehidupanku. Pergilah sejauh mungkin, dan semoga kita tak usah bertemu lagi.. Dalam hening aku memandangi kertas itu. Berulang-ulang ku baca dan ku hela napasku mengiringinya. Aku tak pernah benar-benar mengerti, meskipun aku bisa merumuskan beberapa hal tentang kenapa semua itu terjadi. Aku merasa bahwa jawaban paling tepat kenapa kami semua bertemu adalah karena kami memang harus bertemu. Sang waktu selalu menyibakkan semuanya, yang tersembunyi, yang tertutupi, yang berkedok atau terpoles, maupun yang apa adanya. Sedangkan aku, menemui semua kenyataan itu justru hampir-hampir tidak bisa bersikap apa adanya. Berpikir dan juga merasa apa adanya, itu yang sulit buatku. Terlebih setelah semua kejadian itu tidak hanya nampak kebetulan, namun seperti diatur, direncanakan, dan juga disetir agar bisa kemanapun berubah setiap saat. Hidup adalah perubahan, dan tiada yang tetap kecuali ketidaktetapan itu sendiri. Aku tak bisa bersahaja, sulit rasanya. Karena aku terlanjur menorehkan luka di hatiku sendiri, yang tak bisa diketahui orang lain. Bukan soal luka itu karena apa atau seperti apa, tetapi bahkan kenapa atau untuk apa, seberapa dalam, dan juga bagaimana luka itu, itulah yang rasanya kini justru kubawa lari dalam tiap sunyi karena memang tak dipahami. Ternyata kau memang akan pergi dariku? Kalimat itu mengantarkanku tidak pada kekecewaan, namun sebuah kata tanya “Apa?” yang diucapkan dengan keras dan nada yang tinggi. Lalu kata itu disusul seucap “Ooh..” yang seolah memberi akhir bagi segala pengertian yang kudapatkan. Padahal tidak semestinya begitu, karena aku memang tidak mengerti. Kau pergi, dia pergi, dia-dia yang lain juga telah dan akan pergi. Aku tidak kemana-mana, meskipun aku bertualang dan merantau sejauh-jauhnya. Tak pernah terlalu jauh dari bayangan itu semua. Aku ingat bagaimana awalnya, dan aku paham kenapa akhirnya. Baik yang di diriku sendiri yang berisi segala monster dan badai api itu, ataupun yang di tempat lain di luar sana yang sengaja membangun tembok-tembok tebal untuk menjauhkan pengelihatanku dari dia-dia dan mereka. Apakah benar aku dipisah dan aku memisah? Apakah itu sebuah keputusasaan? Ataukah semua memang dibuat untuk menertawakanku saja? Aku toh tidak melihat sisi lucunya...? Oke, cukup sudah. Pergilah kau jauh. Sejak awal kita memang tidak boleh melampaui garis itu. Aku pikir dengan menjadikanmu sesuatu yang lain, setidaknya aku bisa berlaku sedikit manusiawi terhadap diriku sendiri. Kupikir dengan begitu aku bisa setidaknya memahami diriku sendiri, memperhatikan dan menyayangi diriku sendiri. Namun ternyata garis itu dengan tegas dibuat untuk antara kau dan aku. Ini sudah yang ketiga kalinya, pula. Pertama aku pun beranggapan itu sebenarnya adalah memang candaan, sebagaimana yang kalian ceritakan padaku. Tapi untuk yang kedua kali, sepertinya memang kalian menguji kesabaranku. Apa salahku? Aku tidak ingin merebut semua kebahagiaan itu darimu, darinya, dari kalian semua..! aku justru ingin berbagi, tapi nampaknya itu mustahil dalam kamus sistem kehidupan kalian? Aku tidak ingin memilikimu, memilikinya, atau memiliki satupun atau kesemuanya dari kalian. Aku tidak ingin menjadi sesuatu yang teramat berarti bagi kalian atau bagi siapapun diantaranya. Tapi aku hanya ingin berada diantara langit angan dan asa kalian seperti bintang kecil di gelap malam, atau awan pupus di siang hari. Aku hanya ingin ada, diantara kalian. Aku paham, kita semua akan pergi. Ada masanya kita bertemu dan ada masanya kita berpisah. Jodoh itu mempunyai tenggat waktu. Tapi nampaknya, aku memang harus jujur saat ini. Siapkah kau menerima kejujuranku? Saat tembok itu pertama kali dibangun, aku tidaklah menyaksikan bagaimana kau lahir ke dunia ini. Aku mungkin pernah berharap kau adalah sesuatu yang lain, tapi harapan itu lenyap dengan segera, seperti kepulan asap tembakau dari mulutku. Tapi kali kedua, ketika kau menyanding saudaraku, aku merasa heran, kenapa harus? Aku bisa melupakanmu dalam sekejab andai waktu itu kau tak lebih daripada sekedar kau. Tapi kau telah menjadi kalian, dan aku merasa seperti mendengar semua keluh-kesah maupun tawa-tangis-desah dari seberang tembok penjara yang tebal, darimu! Aku ingin menutup telinga seandainya bisa, ingin membutakan mata jika memang tak ingin kembali menatap mentari di luar sana, tapi aku tak bisa. Akhirnya pun, kini kau dibawa pergi oleh sesuatu yang tidak mau berurusan denganku, takut, enggan, malas, atau bahkan cemburu padaku! Siapa aku baginya? Setelah kau menemani malam-malamku, kita tidak keluar dari ruang maya itu bersama-sama. Setelah kau diikat di kesadaranku, kau direnggut darinya. Tak usah aku turuti semua kesetanan itu. Tak usah aku telanjangi ketertutupanmu dan abadikan apa yang ingin kuabadikan dari dirimu, untuk kubuang jauh-jauh bayang wajahmu, identitasmu, sehingga hanya akan kunikmati semua cinderamata itu sebagai anti dahaga di pinggir jalan. Ingin kuambil dan kurebut apa yang sepantasnya menjadi milikku, yaitu kepemilikanku sendiri. Ingin kutorehkan luka selamat tinggal yang takkan pernah kausadari keberadaannya, lalu kubasuh dengan air penghangat jiwa, seperti yang pernah kulakukan pada seseorang dahulu dalam bayang fantasi, antara maya dan nyata. Maya bagimu, nyata bagiku. Tapi semua itu kusudahi sebelum sempat kuniatkan, belum pula terlangkah untuk terwujud. Tak usah...benar-benar tak usah, tapi bukan demi kebaikanmu. Bukalah penutupmu, tanggalkan semua yang menghias tubuhmu, hanya tubuhmu sahaja, dengan segalanya. Bersihkanlah, usapkanlah tanganmu, lembut seperti lentik jari-jemarimu, usapkanlah merata untuk bersihkan sisa-sisa angin dan energi yang pernah ada karena jalinan perkenalan kita. Dan bayangkanlah, niatkanlah, bahwa tangan yang mengusapmu, menelusuri segala lekuk-lekukmu, menjujuri diri, hati, dan jiwamu itu...adalah tanganku dan hanya tanganku. Aku memberkatimu, menyucikanmu, dengan air suci yang kau reguk dari cangkir sebagaimana cangkir pertama yang aku pernah bagikan untukmu. Guyurkan itu ke wajahmu, ke rambutmu, ke seluruh tubuhmu, dan usap, ratakan dengan sidik jariku yang ada di jemarimu dan hangat telapakku yang ada di tanganmu. Lakukan itu untukku seorang, dan persatuan tubuh astral kita akan berakhir, terputus. Lebih putus daripada buah yang jatuh dari tangkainya, daripada titik air yang jatuh dari badainya, dan daripada semua yang secara semu mengalami keterpisahan padahal sebenarnya masih berakhir. Lepaslah bajumu seperti lepasnya keberadaanmu dari kesadaranku. Temukanlah dirimu lahir kembali dalam kebersahajaan, di ruang-ruangmu sendiri, tanpaku, dengan ketiadaanku. Aku menyucikanmu, tanpa harus mengotorimu. Sehingga kau bukan hanya bereinkarnasi, tapi tercipta kembali dari semula. Aku memaafkanmu, melepaskanmu, dan keberadaanku pun perlahan menghilang darimu.
Selengkapnya

Semilir 1

Ingatkah kau akan janjimu akan memberiku dua puluh pelukan dalam sehari? Kata-kata itu begitu manis terdengar, bahkan ketika kini tinggal terngiang. Namun telinga ini telah bising mendengar kata “sayang” dan “cinta” yang meluncur sebegitu mudahnya dari mulut-mulut mungil itu. Bukan diri telah muak dengan kesemuanya, namun perlu kupertanyakan kembali apakah apa yang berlaku diantara kita semua masih akan tetap seperti dulu, ataukah telah sedemikian mudahnya tergerus oleh sang waktu? Dan kemudian apakah semua yang telah kujalani bersama makhluk-makhluk indah itu tetaplah sesuatu yang sia-sia dihadapanmu, dihadapanku, dan di hadapan kita semua? Tanpa harus menjawab itu pun, sayangnya aku telah berubah haluan. Aku tak lagi mengharapkan semua itu, kendati hati ini masih terkadang menagih sesuatu yang kau tinggalkan tak sempurna dahulu. Aku belum tuntas menyetubuhimu, mempersatui jiwamu, dan aku juga belum ikhlas dengan semua yang terjadi hingga hari ini. Itu semua pula, menilik kepada masa teramat lampau yang dengan belum ikhlasnya masih menggelayut di ekor perjalananku. Debu-debu beterbangan, menambah perih di mata dan mengaburkan pandanganku. Aku hendak terjerembab, terhuyung di tengah angin dan pasir yang beterbangan di badai ini. Tak seekor kuda atau ontapun yang mampu menyelamatkanku kini, membawaku pergi menjauh dari padang gersang puing-puing sejarah ini. Aku terus berjalan mencari dataran ilalang yang dulu kutinggalkan demi kau. Aku terus mengharap dengan menuju arah Bintang Timur, aku akan menemukannya, menemukan kesucianku yang dulu sempat menjadi asal lahirku, citra sesungguhnya diriku, dan kutinggalkan dengan harapan janji manis darimu. Semua bibir yang kukecup, semua tangan yang kurengkuh, dan semua napas yang kubersamai dalam peluh, mungkin hanyalah gelombang kecil. Sebuah riak tak berarti dalam ombak kehidupan. Namun apakah diriku ini berarti, atau seberapa berartikah dirimu bagiku, dan bagi orang-orang itu, siapa yang sesungguhnya tahu? Siapa yang sesungguhnya tahu sehingga kita tak usah berdebat lagi? Pelukan itu, desahan itu, singkirkanlah selamanya dari hatiku. Karena aku kini mengikuti jalan angin, mengikuti sinar rembulan, mengalun bersama ombak dan badai. Untuk menyingkirkan badai terkuat yang pernah kau ciptakan bersamaku dahulu, dalam pelukan itu.
Selengkapnya

Entri Populer