Rabu, 11 April 2012

Memilih Jodoh Menurut Kearifan Lokal atau Agama?

Salam kampanye! Semoga artikel ini menyenangkan untuk dibaca. Saya kebetulan tertarik mengulas tentang perjodohan karena beberapa hari ini kebetulan ada banyak pembicaraan ke arah situ. Bagi para remaja, ataupun orang dewasa yang sudah siap menikah, masalah perjodohan banyak dibicarakan. Banyak pula yang menjadikannya topik untuk berdiskusi. Nah, bagaimana kalau kita ulas dan kita babar saja yuk, begini..
Perjodohan adalah urusan orang tua maupun orang muda. Sebab pernikahan itu berarti penggabungan dua keluarga besar. Makanya pihak kaum tua dalam keluarga besar juga harus ikut andil (Jw: cawe-cawe) supaya di kemudian hari tidak menjadi sebuah penyesalan. Sayangnya, dalam hal memilih jodoh ini tak sedikit orang yang punya dasar pemikiran yang dangkal karena hanya berkutat masalah duniawi. Karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka saya akan menjelaskan sedikit yang berhubungan dengan tatanan agama Islam terlebih dahulu.
Pertama, harus dipahami bahwa jodoh itu ditentukan oleh Allah SWT. Jadi manusia hanya berusaha, tidak boleh memaksakan. Sebab dalam Islam pernikahan yang aslinya hukumnya sunnah bisa menjadi haram kalau dipaksakan atau diniatkan untuk hal-hal yang negatif. Menurut Islam, seorang tidak boleh dipaksa dalam urusan pernikahan, apapun alasannya.

Kedua, berhubungan dengan yang pertama, tidak boleh memaksa untuk menikahi seseorang dan juga tidak boleh memaksa untuk tidak boleh menikahi seseorang dengan alasan tertentu. Standar seseorang untuk memilih jodoh itu ada banyak, diantaranya yang dibolehkan adalah rasa suka ataupun cinta. Tapi mengenai standar memilih jodoh ini Nabi Muhammad SAW mengajarkan ada 4 kriteria untuk memilih jodoh. Kriteria itu adalah: karena agamanya (ilmu dan pengamalannya), karena keturunannya/ keluarganya, karena kekayaannya, dan karena kecantikannya/ tampannya. Menurut Beliau, yang paling bagus adalah karena agamanya, yaitu ilmu dan pengamalannya. Namun sulit juga untuk melihat hal itu, sebab orang yang baik tidak nampak dari pakaiannya. Kadang di jaman ini ada juga perempuan berjilbab besar tapi sebenarnya hatinya tak seindah jilbabnya. Itu fakta yang cukup laris dibicarakan teman-teman akhwat di organisasi dakwah dulu. Maka dari itu memilih jodoh berdasar agama juga tidak mudah meskipun area pencariannya disempitkan di kalangan organisasi dakwah atau komunitas religi.
Nah, kedua hal tadi adalah menurut agama Islam. Saat ini banyak yang harus diingatkan bahwa tatanan lokal kita (local wisdom) juga memiliki petunjuk yang bagus. Orang mengenal dari dulu dengan istilah “bibit, bebed, bobot”. Sebenarnya ada satu lagi yaitu “babad”. Saya akan jelaskan pengertiannya di bawah ini:
Bibit, artinya adalah keturunannya. Maksudnya apakah keturunan orang baik, berkualitas, atau tidak. Tentu saja dalam memilih bibit tidak hanya didasarkan pada kualitas fisik semata, namun juga perilaku dan keseharian. Orang dulu percaya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Artinya ada kecenderungan yang sama antara pendahulunya dengan keturunannya. Makanya kita harus tahu bibit yang baik dengan melihat secara seksama. Hal ini termasuk secara genetis, apakah ada kecenderungan kena penyakit tertentu atau tidak.
Bebed (dibaca dengan huruf ‘e’ seperti pada ‘elang’ atau ‘empedu’) mempunyai dua pengertian. Pertama, status sosial keluarganya. Bebed merupakan sebutan untuk kain selempang khusus jaman dulu yang menandakan status sosial, apakah bangsawan, pedagang, atau orang biasa. Pengertian yang kedua adalah moralitas, sebab menurut pepatah Jawa “Ajining raga saka busana” yang artinya nilai tubuh itu dilihat dari busana yang dipakainya. Seseorang yang menghiasi tubuhnya dengan pakaian yang rapi dan sopan menunjukkan bagaimana ia menghargai tubuhnya sendiri. Meskipun sekarang banyak yang beranggapan bahwa pakaian seksi bukan berarti nakal, namun secara psikologis memang ada kaitan antara kecenderungan pemilihan busana dengan kepribadiannya. Sebaliknya, orang yang baik juga tak bisa dilihat dari tertutup atau tidaknya tubuhnya, namun pemilihan model pakaian setidaknya memberi kita gambaran yang mendekati. Artinya dengan filosofi bebed, kita harus memperhatikan masalah moralitas dan status sosial seseorang. Sebaik-baik calon jodoh adalah yang status sosialnya sesuai dengan moralitasnya.
Bobot artinya berat timbangan atau seberapa berat niat dan kecenderungan kita pada seseorang. Arti lainnya adalah kita harus menimbang, menelaah, merenungkan, dan menilai apakah ‘dia’ termasuk calon berkualitas sehingga ‘berat’ ataukah ‘enteng’ saja sehingga bisa dengan mudah diganti yang lain. Beberapa hal yang membuat bobot penilaian seseorang itu berat, adalah karena pendidikannya, kekayaannya, cita-citanya, ataukah seberapa kita mencintai dan menginginkannya, karena itu juga boleh menjadi patokan.
Terakhir, yaitu babad atau cerita. Maksudnya adalah cerita sejarah kehidupan keluarganya, apakah pernah tersangkut kasus atau tidak. Kita pasti tidak mau kalau kita menikah dan punya anak keturunan yang di kemudian hari disakiti orang lain dengan alasan pembalasan dendam karena sengketa dengan salah satu buyut atau leluhur istri/ suami kita. Apakah keluarganya dulu ikut PKI? Apakah keturunan pemberontak? Apakah punya riwayat kejahatan? Semua itu harus juga dibuka agar keturunan kita tidak sengsara nantinya. Sayangnya, banyak orang yang menganggap aib itu tak usah diusik lagi padahal masalahnya belum selesai. Masalah babad juga mempengaruhi perjalanan hidup kita ke depan, karena itu berhubungan dengan cita-cita keluarga besarnya, rencana ke depan, dan tugas-tugas khususnya dalam masyarakat.
Demikian pembahasan soal empat sekawan bibit, bebed, bobot, dan babad. Terakhir yang ingin saya sampaikan di halaman ini adalah tentang mana yang kita pakai, standar agama ataukah standar budaya? Kalau menurut saya, standar budaya tidaklah bertentangan dengan agama, jadi agama dan kearifan lokal itu diibaratkan seperti nasi dan sayur sehingga harus jalan bersamaan. Tidak boleh dipisahkan. Namun banyak juga sekarang saya temui orang yang sama sekali tak mau tahu kearifan lokal, dan lebih memilih agama sebagai patokan. Itu adalah pemahaman yang dangkal dan sempit, sebab semua itu harus dipelajari dengan seksama barulah akan ketemu bahwa tidak ada pertentangannya. Lebih banyak persamaan dan sambungannya daripada perbedaannya. Nah, kalau ingin mendapat jodoh yang baik, maka harus mulai dari diri sendiri menjadi orang yang baik. Sebab Allah SWT pasti akan memberikan jodoh itu sesuai dengan diri kita, wanita baik-baik untuk pria baik-baik dan wanita pezina untuk pria pezina, itu gambarannya dalam Al Quran. Dalam ilmu psikologi modern itu disebut ‘law of attraction’ (hukum ketertarikan) yang berarti orang tertentu akan cenderung bertemu dengan orang tertentu pula yang kurang lebih punya kesamaan. Wassalam.
Selengkapnya

Senin, 02 April 2012

Orang Tua dan Anak-Anak Tak Jauh Beda

Orang tua selalu menganggap anaknya tetaplah anak-anak. Meskipun anak itu sudah berusia kepala tiga dan menjadi manager sebuah bank atau perusahaan besar, mereka sering memperlakukan anaknya sebagai “their sweet babies”. Sementara itu, anak-anak juga menganggap orang tua mereka sebagai makhluk yang kuno dan kolot. Padahal seringkali antara anak dan orangtua tidak jauh berbeda. Coba kita lihat hal-hal berikut ini:


1. Suka bermain
Siapa bilang orang dewasa tidak pernah bermain? Mereka juga mau diajak bermain badminton atau futsal, just for fun, bukan latihan untuk jadi atlet. Kadang mereka mengerjai teman sendiri, atau berselingkuh (termasuk permainan kan?), dan banyak lagi aktivitas orang dewasa yang sebenarnya bertujuan mencari kesenangan, secara, bermain. Orang dewasa juga tidak menolak dan bahkan menikmati kalau diajak bermain dalam acara outbound atau semacamnya.
Lebih jelas lagi, lihat berikut ini:
a. Maen air = arung jeram
b. Maen perang-perangan = paintball atau airsoft gun
c. Mainan elektronik = nge-game komputer, Playstation, Xbox, dll
d. Mobil-mobilan/ kapal-kapalan = remote control atau aeromodelling
e. Maen keluyuran kemana-mana, mendaki gunung, jalan-jalan, dll
f. Maen sepedaan, motoran, ampe bikin geng motor gede sekalian
g. Serupa maen gundu maen golf, atau serupa kasti jadi baseball
h. Banyak juga orang dewasa mengkoleksi action figure atau pernak-pernik yang berhubungan dengan film atau tokoh komik tertentu, mengikuti cosplay, dll.

2. Menganggap bahwa dirinya sudah tidak bisa belajar hal baru
Anak menyerah sewaktu belajar? Terlalu sulit? Matematika sampai mati-matian? Orang dewasa juga sering menganggap dirinya sudah tua, tak secerdas dulu lagi, sehingga tak mau belajar sesuatu yang baru seperti teknologi, misalnya. Contoh konkrit, ibu gue coy, katanya gak bisa lagi belajar, nyatanya ketemu guru les baca Qur’an dan dibimbing intensif akhirnya sekarang udah bisa baca Qur’an padahal dulu waktu kecil gak pernah ngaji.

3. Menganggap komik dan kartun adalah untuk anak-anak
Kolektor komik kebanyakan orang dewasa. Klo diliat seperti di negara Jepang misalnya, namanya komik atau kartun punya genre atau usia konsumen tertentu yang disebut rating. Misalnya klo ratingnya 15 th keatas artinya anak dibawah 15 tahun gak boleh baca. Komik Crayon Shinchan aslinya untuk remaja, tapi di Indonesia dianggap tontonan bayi, makanya jadi perlu kerja keras untuk men-sensor muatan-muatan yang gak sesuai buat anak-anak.
Komik untuk dewasa, tentu beda banget dengan komik untuk anak. Makanya klo ngeliat komik berilustrasi rada sensual dikit atau kejam dikit, ortu langsung beranggapan komik itu banyak jeleknya, atau merusak anak-anak. Ya iyalah klo itu komik dewasa ngapain dibaca anak-anak.. ini yang bego siapa coba?

4. Menganggap dirinya paling benar dan tak mau menerima masukan
Biasanya nih, klo namanya anak tu selalu merasa benar sendiri, egois dan ego-sentris alias dirinyalah pusat kebenaran. Anak-anak sulit dibilangin, klo maunya tas gambar Naruto ya gak mau lah klo dikasih tas gambar Doraemon, apalagi Dora. Mau orangtua bilang ini yang bagus, itu yang jelek, tetap aja anak gak mau nerima alasan logis orangtuanya.
Ternyata, orang dewasa banyak juga loh, yang ngerasa dirinya lah pusat kebenaran alam semesta ini hoho.. jadi klo ada orang yang ngasih tau atau ngasih masukan, gak diterima. Klo ada pengajian di tivi yang menyinggung perilakunya, langsung dimatiin atau dipindah channelnya. Itu semua bisa terjadi pada orang pinter ataupun bodoh. Jadi bisa aja orang dewasa karena merasa berilmu makanya gak mau ngikut ilmu orang lain. Bisa juga kurang ilmunya tapi keukeuh dengan pendapatnya, mau bumi langit jungkir balik dia lebih percaya ama keyakinannya sendiri daripada omongan orang. Parahnya, klo orangtua macam ni udah nolak klo diajak mencari kebenaran atau ngebuktiin sesuatu yang keliatan (misalnya, ngebuktiin klo Jakarta itu jauh dari Imogiri, tapi gak mau diajak pergi jalan-jalan), artinya orang ini udah masuk kategori sakit jiwa karena dia ‘takut’ melihat sesuatu yang diluar keyakinannya.

5. Inkonsistensi
Anak-anak abis berantem bisa baikan lagi, ketawa-ketiwi maen bareng. Anak-anak belum bisa dikatakan konsisten, makanya mesti diatur pake jadwal, kapan belajar, kapan bangun tidur, makan, mandi, dll. Orangtua juga sering ngomong sesuatu yang akhirnya dilanggar sendiri. Bilangin anaknya “kamu jangan merokok” lah dianya sendiri merokok. Di masa dewasa, seorang anak akan lebih mengingat tindakan dan perilaku orangtuanya daripada omongan dan ajaran-ajarannya.

6. Berbicara tanpa bertindak dan bertindak tanpa berpikir
“Dipikir dulu, klo mau ngapa-ngapain tu..” begitu kata orangtua. Apakah orangtua sendiri selalu berpikir sebelum bertindak? Tidak juga. seringkali mereka nekad, atau karena sudah terdesak makanya asal jalan aja, seperti kata orang, “hantam dulu, urusan belakang..”. Kebalikannya, banyak bicara tapi gak bertindak, ngomong muluk-muluk yang tinggi-tinggi, tapi kenyataan yang ada gak sebegitunya. Kadang orang dewasa juga ngibul ama generasi muda buat ngeyakinin bahwa mereka punya prestasi sehingga berhak nyuruh juniornya supaya berusaha berprestasi.

Begitulah beberapa penemuan tentang tidak jauh berbedanya antara anak-anak dengan orang dewasa. Semoga bermanfaat, Salam Kampanye!
Selengkapnya

Entri Populer