Minggu, 25 Maret 2012

Historical Re-Enactment Group dari Manca Negara, dimana Indonesia?

Seberapa penghargaan anda pada sejarah dan budaya? Dalam pikiran saya, sejarah dan budaya bangsa nilainya sangat rendah dibandingkan dengan info tentang trend dan budaya populer seperti musik dan drama Korea. Pemikiran orang muda, khususnya waktu saya masih muda dulu (sekarang sudah uzur? Remaja kali maksudnya, gan!) saya berpandangan bahwa kata “budaya” identik dengan lagu daerah, tari-tarian, wayang, dan bahasa daerah yang memusingkan seperti dalang wayang kulit membawakan ceritanya. Yang bikin semua itu ‘neg’ adalah, semua itu berhubungan dengan ‘orang tua’ sedangkan orang tua adalah subjek yang paling menyebalkan di masa remaja. Budaya itu norak seperti orang tua, karena orang tua itu suka menasehati, menyebalkan, akhirnya budaya menjadi menyebalkan! Sungguh pemikiran yang aneh...
Sementara itu, sejarah identik dengan hafalan tentang nama orang, nama peristiwa, tahun plus tanggal-tanggalnya, nama kerajaan, prasasti, artefak, dan homo erectus. Ditambah lagi ingatan bahwa guru sejarah itu menyebalkan karena tidak pernah senyum tapi easy going tetapi nilainya bakhil! Sejarah juga menjadi menyebalkan bagi saya.
Anehnya, semua itu berubah ketika saya masuk SMA. Saya menjadi suka sejarah dan suka dengan budaya. Kurun waktunya kira-kira bertepatan dengan pergantian trend dari rock’n roll menjadi breakdance disusul boyband. Mulainya muncul kaum punk dan banyaknya gadis yang mulai berjilbab. Saya anggap itu aneh, karena saya jadi memikirkan kenapa hanya saya yang begitu, dan kira-kira anda tahu apa sebabnya?
Gampang! Saya mengenal maen game strategi. Dari sana saya mulai melihat dan membaca sejarah internasional, sesuatu yang tidak diceritakan oleh guru sejarah karena beliau melulu menceritakan tentang PBB dan jaman prasejarah. Tapi jaman antara prasejarah dengan masa munculnya J.J. Rosseau tidak disinggung, aneh. Dari situ saya juga makin tertarik dengan sejarah negeri sendiri oleh karena dalam sejarah banyak perangnya (anak laki-laki selalu suka perang-perangan?). Ternyata betapa manisnya cerita-cerita tentang kerajaan masa lampau, dan uniknya, dari membaca sejarah dunia, saya juga otomatis belajar tentang ilmu ekonomi, politik, fisika, persenjataan, dan ilmu agama. Bahkan saya berkesimpulan bahwa bangsa kita takkan dijajah Belanda 350 tahun kalau Imperium Islam Turki Osmani tidak menaklukkan Konstantinopel. Itu logika yang saya baru temukan di SMA padahal saya belajar itu sejak SMP.
Tapi tidak semua orang suka dengan yang lampau, kalau jaman sekarang dibilang kamseupay alias jadul. Kalau saya amati, trend itu selalu berubah, dari Elvis menjadi Jacko, dari Roma Irama menjadi Ebiet G. Ade, lalu Boomerang, Slank, akhirnya Sheila on 7, Peterpan, dan juga.... Cherrybelle! Mengikuti trend hanya membuat saya terombang ambing. Tapi itu boleh juga, bagus untuk bersosialisasi. Hanya saja, mengikuti trend tapi tidak punya sesuatu yang ‘still’ rasanya seperti tidak memiliki ‘aku’. Jati diri tidak dibentuk dari bagaimana orang memuji pakaianku, tapi bagaimana pakaian yang aku sukai. Kembali ke sejarah, masa lalu mengajarkan banyak contoh, seperti prinsip peperangan dalam Sun Tzu yang ternyata dipakai juga dalam PD II oleh Pasukan Sekutu dalam melawan Nazi Jerman.

Oke, enak ya, cerita tentang diri sendiri..? itu hanya kilasan masa lalu. Tapi yang menggairahkan saat ini adalah adanya suatu kelompok yang disebut Historical Re-enactment Group. Kelompok-kelompok ini banyak sekali di luar negeri. Mereka adalah kelompok yang hobinya melakukan peringatan terhadap peristiwa bersejarah, dengan cara membuat semacam pertunjukan atau peniruan terhadap peristiwa aslinya. Misalnya di Jepang dengan Festival Sekigahara, orang berduyun-duyun datang ke lapangan, memakai kostum samurai, lalu memerankan tokoh atau pihak-pihak yang ada dalam peristiwa Perang Sekigahara beberapa abad silam. Hasilnya adalah pertunjukan, seperti karnaval, tapi lebih ke arah drama karena ada ceritanya. Demikian pula di Inggris, orang memerankan pasukan Anglo-Saxon dan Viking untuk memerankan kembali peristiwa penyerbuan bangsa Viking ke Inggris. Di Eropa pun hal seperti itu banyak sekali. Tentu saja tidak semua peristiwa diperankan oleh satu kelompok seperti orderan main ketoprak. Ada kelompok-kelompok yang mengkhususkan diri pada peristiwa tertentu, misalnya beberapa kelompok di Australia dan Kanada yang meniru gaya hidup para penjelajah pertama benua Amerika. Berpakaian seperti orang abad ke-17, membawa senapan sundut, dan makan dengan menu yang dimirip-miripkan dengan makanan di jaman itu. Semua itu menjadi bagian dari pariwisata, dan bahkan bisnis swasta.
Jika melihat di dalam negeri, mungkin bisa kita temukan seperti di Jogjakarta, ketika perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW ada Garebeg Maulud. Di sana kita bisa melihat para prajurit Keraton berbaris dengan kostum yang unik-unik. Memang, di Indonesia hanya sedikit penghargaan sejarah dengan cara seperti itu. Sejarah dan budaya juga tidak menjadi bagian favorit masyarakat. Mungkin karena keterbatasan, sebab di negara lain budaya dan sejarah menjadi hal penting, terutama untuk negara-negara yang membutuhkan jati diri kebangsaan yang jelas seperti bangsa-bangsa di Eropa. Indonesia justru makin tidak jelas jati dirinya karena kita lebih suka mengikuti trend manca negara.
Berkaca dari Korea Selatan, negeri itu bahkan sejak lama sengaja menggunakan budaya Korea sebagai sumber devisa negara. Korea membawa Taekwondo sebagai olah raga beladiri paling laris sedunia, musik (K-Pop), maupun drama Korea. Ini semua bukan hanya trend, tapi memang sengaja diarahkan ke sana. Makanya kalau anda merasa senang dengan mereka, anda tidaklah berdosa, hanya saja pernahkah berpikir tentang kondisi negeri sendiri?

Contoh lain ekspo budaya adalah dari Jepang dengan komik manga, yang paling terkenal adalah Doraemon. Hebatnya lagi, samurai, prajurit masa lalu itu berhasil memikat hati banyak orang lewat penokohannya dalam anime Samurai X, sebuah terobosan modern untuk mengangkat sesuatu yang tradisional.
Kesimpulannya, orang manca negara pun dengan gembira melestarikan budaya dan menjaga sejarahnya. Bagaimana dengan Indonesia? Heran tapi nyata, saya sendiri masih berpikir bahwa Gatotkaca masih kalah populer dengan Kenshin Himura karena kalau saya membayangkan Gatotkaca langsung teringat wayang orang, dan keingat lagi dengan trauma kejengkelan saya terhadap orang tua yang gak maju-maju. Mungkin Indonesia perlu orang-orang seperti Jan Mintaraga atau komikus lain untuk mencitrakan kembali tokoh-tokoh legendaris dengan cara modern, tidak seperti pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Bukan berarti wayang kulit jelek, tapi sebenarnya banyak cara untuk membuat sejarah dan budaya menjadi renyah untuk dinikmati siapapun, terutama kalangan muda.
Bagaimana? Mau bikin re-enactment group dengan saya? Mungkin pengen mengisahkan kembali Perang Diponegoro?

My salute to: Sujiwo Tedjo, Ki Asep Sunarya, Jan Mintaraga, Khoo Ping Hoo, dan tak lupa Sawungkampret & Na’ip hehe...
Selengkapnya

Awas Kejahatan Membabi-buta!!

Beberapa waktu lalu ada insiden penusukan yang dilakukan oleh sekelompok orang di kota Jogja. Di tempat lain, kejahatan tanpa pandang mangsa juga banyak terjadi. Kejahatan ataupun salah sasaran memang tidak terelakkan. Kita merasa tidak punya musuh tapi bisa saja menjadi korban pengeroyokan, hingga pembunuhan. Para wanita juga tidak aman karena di dalam metro pun mini bisa menjadi sasaran pemerkosaan. Apa yang telah terjadi hingga kejahatan sering salah tempat atau tak pandang bulu?

Lebih baik kita memikirkan bagaimana caranya menjaga keselamatan diri sendiri. Kita tak pernah tahu kalau tiba-tiba orang yang berpapasan dengan kita menusukkan pisau. Mending kalau ditodong, ada semacam tawar-menawar dan kesempatan untuk memahami situasi. Tapi kalau tiba-tiba dikeroyok terus ditinggal lari, kan bingung jadinya?
Mungkin kita perlu senjata untuk jaga-jaga. Tapi apakah senjata itu bisa kita gunakan dengan baik? Punya senjata tapi tak bernyali juga seperti tanpa senjata, tak bisa berbuat apa-apa. Atau kita perlu memakai rompi anti peluru biar kebal tembakan? Bagaimana kalau tembakannya diarahkan ke kepala? Rompi anti peluru atau disebut juga soft-armor harganya mahal, dan perlu ijin khusus untuk memilikinya. Senjata api atau sajam yang besar seperti parang atau pedang samurai juga dilarang dibawa-bawa oleh polisi, bisa disita atau malah kita yang ditangkap dikira penjahat.

Ada beberapa cara untuk menjaga keamanan diri sendiri. Bepergian dengan teman salah satunya, tapi juga tidak menjamin. Sebab kalau yang dihadapi adalah massa berjumlah besar, kita tak punya pilihan selain lari atau sembunyi. Terus gimana dong? Mungkin ada beberapa hal yang bisa dijadikan solusi...

Ada beberapa tipe senjata yang kalau kita nekad, bisa di bawa, misalnya pisau lipat. Tapi kalau ketahuan bawa pisau lipat, bisa ditangkap polisi.
Senjata yang direkomendasikan untuk jaga diri khususnya wanita, adalah semprotan cabe alias pepper spray. Semprotkan ke mata dan larilah selagi penjahatnya kesakitan. Tapi dalam situasi keroyokan, senjata ini juga kurang efektif dan kurang efisien.

Selain pepper spray, ada yang serupa tapi beda cara penggunaannya yaitu senjata kejut listrik atau stun gun. Sekali sengat orang bisa pingsan. Cocok untuk menghadapi copet, pemerkosa (kecuali klo sudah memeluk dan menindih, karena anda akan ikut kesetrum), dan segala jenis kejahatan jarak dekat. Sayangnya, dalam beberapa kasus seperti tawuran, senjata ini juga bisa bikin anda masuk bui.

Klo bawa senjata gak mungkin, atau ribet ngeluarinnya dari saku/ tas, maka anda bisa mulai berlatih beladiri. Ada banyak sekali aliran beladiri yang ada, mulai dari yang keras sampai dengan menari-nari. Tapi semua punya kelemahan. Misalnya Aikido, seni membanting ini tidak bisa digunakan saat kita di dalam bus atau kereta api yang penuh sesak. Demikian juga Capoeira, tendangan yang indah melayang tak bisa dipakai di gang sempit. Mungkin beberapa jenis beladiri lain bisa menangani permasalahan. Misalnya Silat, Krav Maga, atau kungfu Wing Chun yang khusus untuk tempat terbatas. Tapi semua itu juga punya nilai minus misalnya, apakah tempat latihannya ada di dekat anda tinggal? Berapa lama harus berlatih sampai anda benar-benar siap dan mampu membela diri dengan itu? Atau, persiapkan tubuh anda untuk sakit terlebih dulu selama berlatih dengan kayu, sansak, atau teman latihan anda.

Semua punya nilai minus, maka alternatif terakhir adalah.... berdoa! Ya, berdoalah sebelum melakukan perjalanan, pasrah pada Yang Maha Kuasa. Tuhan akan menolong hamba-hambaNya yang beriman dan bertaqwa. Tapi bila anda tetap kena kejahatan, mungkin itu karena kurang hati-hati, atau karena lingkungan memang rawan, atau karena Tuhan memberikannya sebagai balasan atas dosa anda di masa lalu, hahaha...

Akhir dari post ini, beberapa tips untuk meminimalisir bahaya kejahatan, antara lain:
1. Jaga penampilan dan berpakaianlah yang simpel dan tidak ribet. Kejahatan rawan terjadi pada perempuan dengan pakaian yang panjang, ribet, atau berambut panjang. Selain itu pakaian yang simpel memudahkan kita melarikan diri.
2. Hindari lewat daerah asing sendirian, apalagi di waktu malam. Atau, kenali daerah yang rawan di lingkungan anda dan hindari akses ke sana.
3. Hindari nongkrong di tempat terbuka seperti pinggir jalan besar, lebih baik nongkrong di masjid atau di tempat-tempat dimana kita punya dukungan moril dan materiil, juga massa. Sekolah saja bisa di drop tawuran, apalagi Cuma pinggir jalan, kecuali kita punya massa cukup banyak yang diajak nongkrong, misalnya pas pengajian, atau selepas latihan karate.
4. Jaga perilaku, omongan, dan cari sebanyak mungkin teman. Hindari punya musuh. Salah satu trik untuk aman adalah dengan menjadi orang terkenal, jadi orang takkan salah sangka kita dikira orang lain.

Sumber: pengalaman pribadi dan obrolan kawan-kawan
Selengkapnya

Selasa, 20 Maret 2012

Makin Sendu Makin Disuka

Lagu sedih atau yang kita kenal sebagai lagu mendayu-dayu, dengan irama-irama minor yang seringkali menceritakan kisah sedih, biasanya lebih enak didengar. Ada juga lagu yang laris seperti lagunya Mariah Carey “I can’t Live Without You”. Lagu dari Josh Groban “You Raise Me Up”, atau lagu-lagunya Kitaro, meskipun tidak menjadi sangat populer namun mempunyai penggemar tersendiri. Penggemar lagu-lagu ini tergolong bukan maniak, tapi mempunyai kesan mendalam. Lagu Indonesia seperti lagu-lagunya Naff, Cokelat, Drive, dan lain-lain kebanyakan mempunyai irama sendu dengan bumbu konflik. Bahkan lagu rock atau heavy metal yang disukai orang pun bumbunya adalah nada sendu, kisah cinta tragis, atau konflik berisi konten emosional mendalam. Kesimpulannya, bukan lagu gembira yang menempati tangga nada teratas setiap tahun.

Bagaimana dengan lagu cinta? Lagunya Bruno Mars atau lagu-lagunya Westlife juga bukan lagu gembira. Nada-nadanya lebih ke arah sendu, mengalun, atau nge-bit dengan hentakan irama yang bisa membuat orang ingin ber-ajojing mengikuti irama. Perlu kita tahu bahwa bit atau hentakan adalah bentuk musik paling kuno yang paling ampuh mempengaruhi emosional manusia. Itulah kenapa kebanyakan lagu rap itu dibilang bagus, bukan hanya karena liriknya yang seperti puisi, tapi hentakannya sejak detik pertama sudah memikat. Lagu gembira yang seperti lagu anak-anak jarang kita temukan dalam industri musik modern (untuk orang dewasa).
Lagu mengalun seperti Celine Dion punya, atau lagu underground, heavy metal, sama-sama laris. Bahkan dangdut, laris karena dua hal, hentakan dan irama sendunya. Kalau mau diambil kesimpulan, setiap konten lagu yang bersifat emosional cenderung laris. Meskipun ada juga lagu yang sifatna komedi atau humor, namun tidak akan sepopuler atau selaris lagu sendu, sedih, atau emosional. Dari paragraf satu hingga tiga ini, pertanyaannya adalah mengapa?

Ternyata kaum ilmuwan juga tergelitik untuk meneliti popularitas sebuah lagu. Ternyata dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pada saat mendengarkan musik, terutama dengan nada-nada tinggi dan konten emosional, otak manusia mengeluarkan senyawa dopamin. Senyawa neurotransmitter ini diproduksi juga pada saat manusia makan atau melakukan hubungan seks. Senyawa ini menyebabkan manusia merasakan suatu perasaan seperti saat mendapat pujian, menyukai sesuatu, senang, dan bersifat seperti candu. Kebanyakan senyawa neurotransmitter dalam otak mempunyai pengaruh zat aditif terhadap syaraf. Contohnya jika kita merasakan suatu sensasi petualangan yang menantang, maka kita akan ingin melakukannya lagi meskipun itu hal yang berbahaya. Sekali pernah terjun bungee jumping atau flying fox, pasti ingin lagi dan lagi. Lagipula, manusia adalah makhluk yang mudah merasakan empati, simpati, dan cenderung melakukan self-reference yaitu mencocokkan dengan dirinya sendiri. Ketika sebagian manusia pernah mengalami sesuatu yang bersifat emosional, maka jika ia bertemu cerita dari orang lain yang mengalami hal yang sama, ia seperti mendapat penguatan atas dirinya, “ah, aku juga mengalami itu lho..”. maka tak heran jika lagu cinta tragis, yang berkisah tentang pengkhianatan, kehilangan/ ditinggalkan, perselingkuhan, berisi kemarahan, dan konten-konten serupa akan laris dan disukai banyak orang sebagai gejala sosial.
Sumber:
http://www.scena.org/lsm/sm8-2/musique_biologie_en.htm
http://jakarta45.wordpress.com/2008/11/29/musik-pencerdas-bangsa/
http://www.psypost.org/2011/01/listening-music-dopamine-drugs-sex-3583
dan lain-lain...
Selengkapnya

Sebuah Cerita di Awal Bulan

Jidatku berkerut mendengar suara dari speaker Hpku. Sedetik rasanya ada semacam jarum, segede jarum goni mungkin, rasanya menusuk sesuatu di rongga dadaku. Ya, hatiku rasanya tertusuk, sakiiiittt..... tapi tak apalah. Aku menghibur diriku sendiri, kuumpamakan aku seperti Nabi Muhammad. Loh kok bisa? Ya bisa dong, jawabku pada diri sendiri.
“Dasar orang-orang sombong....mmmm, mungkin lebih tepatnya belagu”, pikirku.
Tapi aku juga tak bisa berbuat lebih jauh kecuali memaki-maki diriku selama dua setengah detik, lalu aku terduduk dalam tanya, kenapa memangnya aku merasa sakit hati? Aku tak harus begini atau begitu, dan keadaan juga tak mesti begini begitu? Tidak ada yang harus dipaksakan! Yang aneh itu kenapa dengan kejadian seperti ini saja aku sakit hati. Aku sakit? Ya, aku memang ‘sakit’. Gerutuku.

“Maaf mas, ibu-ibu di sekitar blok sini bilang, kalau senam tai chi itu tidak menarik. Soalnya terlalu lambat, tidak dapat keringat, dan lagi pusing mikirnya mau bergerak bagaimana. Mereka lebih suka senam aerobik yang biasa jingkrak-jingkrak itu, soalnya ibu-ibu di sini itu masih berjiwa muda..” Itu suara yang ku tangkap.
Hah? Tidak berkeringat? Aku ingin meletup-letup membela diri bahwa melakukan senam tai chi itu tetap basah (sekali lagi, basah!) berkeringat. Lambat bukan berarti tidak berkeringat. Mereka saja yang belum pernah tahu kok bisa-bisanya berkomentar.
Jujur saja, aku benci dengan senam aerobik. Entah kenapa, tapi jika ku coba uraikan, ada sih beberapa alasan, misalnya:
Senam aerobik itu kan cuma mengikuti instruktur yang di depannya. Lebih jelasnya lagi, instruktur bergerak semau-maunya sendiri, dengan irama yang ia pasang sendiri seolah bilang,”nih gua bergerak, lo mo ngikut mo kagak terserah lo deh!”
Terakhir kali aku ngeliat acara senam aerobik instrukturnya laki, tapi seksi abis dan maho-maho gitu, gerakannya gemulai macam patukan ular kobra. Sementara yang dibelakangnya ibu-ibu berpantat gede-gede yang ikut gedubrakan ke kiri dan ke kanan gak jelas, sama sekali gak hapal gerakan dan gak bisa nyamain ama yang di depan. Mereka lebih tepatnya disebut “bergerak tak karuan” dan dalam bahasa Jawanya “Keponthal-ponthal” alias Ebiet G. Ade bilang “tertatih-tatih”.
But they liked it...! they enjoyed it...!
(hwarakadah..!)

“Halo? Ya, gimana tanggapannya?”
Okeiii...... mungkin aku merasa sakit hati karena dibandingin dengan sesuatu yang menurutku incomparable begitu. Menurut pengalamanku, senam ‘aerobik’ bukanlah aerobik yang sesungguhnya. Setiap olahraga bisa saja dibilang aerobik. Tapi yang namanya ‘aerob’ itu kan menggunakan napas. Sedangkan olahraga napas yang aku pernah geluti baik itu tenaga dalam, meditasi, yoga, ataupun sekarang ini tai chi, memberikan porsi napas/ oksigen yang optimal untuk tubuh, dibandingkan senam jingkrak-jingkrak. Apalagi reputasiku sebagai penderita sakit jantung sejak umur 24 tahun memberiku pengalaman buruk soal senam loncat-loncat itu. Pendek kata, senam aerobik bukanlah aerob yang sesungguhnya. But tai chi is..!
Juga, aku berpikir, kiranya ada yang menolak tai chi – biasanya – karena tidak tertarik. Tai chi identik dengan senamnya orang tua, sedangkan para ibu-ibu masih berjiwa muda, gak mau kalah ama anak-anaknya yang sudah bisa bikin anak, masih pengen “yhang-yhangan” sehingga masih pengen kelihatan cantik di mata suaminya, dan atau sehingga, suaminya tidak melirik tetangganya yang masih muda atau anak SMA seberang jalan.
Ttapi yang edan mungkin bukan mereka, melainkan aku.
Aku menganggap diriku seperrti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berdakwah trus ditolak saja beliau bisa sakit hati, sampai-sampai Allah SWT berulangkali harus mengelus-elus kepala utusanNya itu (baca: menghibur) dengan ayat-ayat dalam Al Quran yang berpesan “Jangan sakit hati lah...”.
Aku? Menawarkan senam tai chi? Untuk apa?
Tiba-tiba aku teringat Kanjeng Nabi pernah berpesan,”Jangan kamu menolak memberi ilmu pada orang yang membutuhkan, karena itu perbuatan dzolim. Jangan pula memberi ilmu pada orang yang tidak membutuhkan, karena itu juga dzolim.”
Ya, itu dzolim pada diri sendiri. Makanya jaman dulu guru itu harus mengetes dulu calon muridnya beneran serius apa nggak, kalau nggak mendingan pergi daripada bikin si guru buang-buang energi.
Untuk apa aku sakit hati karena apa yang kupahami disalah artikan orang lain? Tapi memang menyebalkan kok, ya sudah... tidak perlu ada pembalasan. Aku hanya tak mau lagi berurusan dengan mereka. Inilah kenapa aku tidak mau jadi pedagang seperti bapakku, karena aku lebih suka menjalin silaturahmi. Kalau aku jadi pedagang sudah banyak pasti aku memutus silaturahmi karena melihat muka orang yang pernah menolakku bisa membuatku serasa dikeloni anaconda...hiiii....
Selengkapnya

Rabu, 14 Maret 2012

TIPS BELADIRI: Menghadapi 7 Macam Lawan yang Berbeda.

Beladiri adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi bahaya. Ada beberapa macam kondisi bahaya misalnya perkelahian, aksi kejahatan, kecelakaan, ataupun serangan binatang buas. Beladiri mengajari kita supaya tidak terluka saat kondisi yang memungkinkan kita terluka atau celaka. Namun utamanya dalam menghadapi bahaya dari sesama manusia, kita harus mengenali bahwa ada tujuh macam lawan yang berbeda dalam kondisi bahaya. Karenanya, prinsip kebaikan bersama, kebijaksanaan, dan cinta kasih harus pula diutamakan.

Sebelum mengenal yang namanya “lawan”, kita harus mengerti perbedaan antara lawan dengan “musuh”. Sebab sejatinya musuh itu tidak ada. Siapapun yang ‘berlawanan’ dengan kita disebut lawan, tapi musuh itu hanyalah ilusi saja. Musuh bukanlah orang yang jahat, bukan orang yang menyakiti, bukan juga orang yang berbeda dengan kita. Nyatanya kitalah yang menciptakan musuh itu sendiri dalam pikiran kita, menentukan apakah seseorang mau dimusuhi atau tidak. Untuk bisa membela diri dengan baik, pikiran harus bersih dari kata “musuh” dan ganti dengan “lawan”.
Berikut ini penjelasan maupun tips menghadapi tujuh macam lawan yang berbeda:

1. Orang Iseng
Orang iseng artinya coba-coba, menjajal kemampuan kita atau mungkin sedang bad mood lalu pengen melampiaskan kegalauannya dengan menyakiti kita. Jika orang ini iseng karena dia pengen menjajaki diri kita, maka kita boleh “bermain-main” dengannya. Tapi jika keisengannya itu karena kondisi jiwa yang berkobar, kalahkan dia secepat mungkin dengan teknik kuncian atau serangan kejut (shocking strike) untuk membuatnya hormat atau setidaknya menghentikan niatnya berkelahi. Sekedar tamparan di pipi kadang efektif untuk menunjukkan bahwa kita tidak main-main.

2. Orang Marah
Orang marah bisa karena memang kita yang salah atau karena salah paham. Bila kita tersangkut masalah juga bisa dianggap salah paham. Intinya, hentikan serangannya dengan teknik kuncian sehingga kita ada kesempatan untuk bicara dan menenangkan kondisi. Jika tidak bisa, bikin saja pingsan lalu kita tolong agar ada kesempatan ngomong. Tapi jika orangnya memilih untuk dendam dan memusuhi kita, kita cukup menghentikan serangannya, membuat dia (dan orang lainnya) melihat bahwa kita punya niat baik, sekaligus punya kekuatan. Biarkan dia pergi untuk menenangkan diri.

3. Orang Gila
Orang gila mengamuk tanpa kejelasan, gerakannya ngawur, bertenaga, tapi tak terarah. Berdasarkan situasinya jika memang membahayakan, akhiri perlawanan secepat mungkin atau tinggal lari saja. Ingat, jangan menyakiti dengan menyerang titik vital apalagi yang bisa membunuh. Gunakan saja teknik bertahan atau teknik melumpuhkan.

4. Orang Mabuk
Pada dasarnya ada tiga type aksi beladiri, yaitu menghentikan, melumpuhkan, dan menghancurkan. Untuk orang mabuk, lawan bisa menjadi gabungan dari orang marah, orang gila, dan kadang orang jahat juga. karena itu kita harus jeli mengamati perkelahian yang akan terjadi itu karena orang mabuk yang marah atau memang punya niat berbuat jahat seperti ngompas atau memperkosa. Kalau dia hanya marah, lumpuhkan saja dengan teknik kuncian (orang mabuk sukar dibuat pingsan), lalu taruh di tempat yang kira-kira menahannya dalam waktu agak lama. Syukur bisa sampai dia sadar atau minimal sekedar kita melarikan diri darinya.

5. Orang Jahat
Orang jahat pun ada beberapa macam, minimalnya jahat ringan, dan jahat sekaligus fatal. Penjambret, penodong di jalanan, termasuk jahat ringan, kita bisa saja memberikan apa yang dia mau (uang, makanan) agar dia melepaskan kita. Tapi jika sudah diberi masih mau lebih atau memang kurangajar (pengen mencium,dst), lumpuhkan secepat mungkin. Jangan lupa segera pergi dari sana sebelum kawan-kawannya datang.
Penjahat fatal misalnya teroris, penculik, penyandera dalam perampokan, dan semacamnya. Mereka berkesempatan membunuh kita dan sepertinya tidak ragu untuk itu. Jika terjebak dalam situasi ini, lihat dulu kondisi. Kalau cuma satu orang kita boleh menggunakan teknik mematikan untuk melumpuhkan bahkan menghancurkan. Tapi kalau banyak orang yang tak bisa kita kalahkan sendiri, tunggu saat yang tepat untuk menyerang lalu lari.

6. Orang Nekad
Orang nekad sebenarnya bukan pemberani, tapi menjadi berani karena suatu alasan. Kembalikan rasa takutnya dengan menghentikan serangannya. Ancam balik, dan jika masih nekad lumpuhkan lalu teruskan dengan intimidasi untuk membuatnya jera. Namun jika situasinya bisa berubah sewaktu-waktu, persingkat semuanya sebelum ada banyak yang ikut campur.

7. Orang Banyak dan kurang ajar (beraninya keroyokan)
Kadang ada orang yang dendam pada kita lalu mau mengeroyok. Atau, kita terjebak di situasi dimana satu kumpulan mengancam kita karena hal kecil seperti misalnya kita dianggap tidak sopan. Jika bicara/ diplomasi sudah tidak berfungsi, maka yang pertama dihajar adalah yang terkuat di situ. Namun jika terlanjur dikepung, hajar mulai dari yang dibelakang kita atau dari sisi yang tidak diduga. Pengalaman menghadapi pengepungan juga akan menentukan strategi yang akan kita gunakan. Yang jelas, selesaikan masalah secepat mungkin, jangan terjebak untuk meladeni permainan mereka. Lumpuhkan yang terkuat dan intimidasi yang lain, atau setidaknya lumpuhkan sebagian dari mereka.

Begitulah beberapa tips tentang kondisi darurat perkelahian. Tapi selain itu ada prinsip dasar yang kita semua harus amalkan yaitu:
1. Ketenangan daripada keberingasan
2. Terhormat daripada menakutkan
3. Ngalah, ngalih, ngamuk (mengalah, menghindar, baru mengamuk)
4. Hindari masalah, atau selesaikan secepat mungkin.

Semoga berguna.
Selengkapnya

Mengapa Orang Zaman Dulu Sehat-Sehat?

Kebiasaan Baik yang Hilang
Ada banyak kebiasaan orang zaman dahulu yang mulai ditinggalkan orang modern. Padahal kebiasaan itu menyebabkan sehatnya jiwa dan raga.

1. Berjalan kaki
Berjalan kaki mengalirkan darah lebih baik ke seluruh tubuh, memberi tekanan pada tulang sehingga memperpadat dan menjaganya dari keropos. Selain itu, dengan tanpa alas kaki (atau alas kaki yang tipis) akan mengakses titik-titik meridian di kaki, memberi efek pijatan seperti akupressur atau pijat, menyehatkan syaraf.
Berjalan kaki juga membuat orang lebih sabar karena terbiasa menempuh jarak panjang dengan waktu lama. Membuat mata lebih sehat karena lebih berkesempatan menikmati pemandangan, melihat dekat-jauh bergantian, dan membiasakan bahwa semua hal ada prosesnya langkah demi langkah. Pengaruh jalan kaki bukan hanya fisiologis tapi juga psikologis.
2. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik seperti berladang, mencari kayu, memperbaiki genteng, dan lainnya adalah aktivitas membakar kalori. Orang kota biasanya tidak mau repot lalu menyewa tukang untuk melakukan semua aktivitas fisik seperti membersihkan taman, dsb. Padahal membakar kalori membuat kita makin berenergi, stamina terjaga, terhindar dari penumpukan racun dan lemak di jaringan tubuh, serta mengurangi resiko penyakit jantung koroner dan diabetes. Tubuh manusia diciptakan untuk bergerak, karena dengan bergerak oksigen akan terserap secara optimal, pembakaran lebih sempurna sehingga metabolisme energi lebih baik.
3. Makan Makanan Alami
Makanan zaman dulu tidak mengandung zat aditif (pengawet, MSG, pewarna, gula sintetis) ataupun pestisida sistemik. Banyak orang modern sakit stroke atau diabetes meskipun orang miskin dan jarang makan enak (berkolesterol). Sebabnya ialah penumpukan zat-zat racun dalam tubuh yang tidak terurai, menyumbat aliran darah, merusak syaraf atau jaringan tubuh. Sementara, makanan alami berupa sayuran, buah, ikan dan daging tanpa obat-obatan (ikan laut, ayam kampung) lebih baik. Sayangnya di zaman modern ini sulit mencari makanan tanpa kimia (organik). Padahal sayur dan buah mengandung banyak vitamin dan mineral serta antioksidan untuk menjaga kondisi jaringan tubuh.

4. Gaya Hidup Teratur
Bangun di pagi hari, bekerja hingga siang, makan teratur, istirahat di sore hari, berada di rumah menjelang malam hingga tidur. Keteraturan itu sangat berpengaruh bagi kondisi fisik sebab fisik punya tahapan sebagaimana siang dan malam. Ada masanya bekerja dan masanya beristirahat. Kehidupan modern memaksa manusia mengabaikan fisiknya dan beraktifitas diluar kondisi alami. Akibatnya muncullah sakit maag, insomnia, darah rendah dan tekanan darah tinggi, serta penurunan fungsi syaraf. Tubuh memang akan menyesuaikan, namun jika tidak teratur, maka metabolisme tubuh pun menjadi kacau sehingga berbagai masalah kesehatan muncul.
5. Paguyuban dan Kekeluargaan
Maksudnya adalah berada dalam masyarakat yang guyub rukun dan bersifat kekeluargaan. Gaya hidup tradisional adalah mencari kebaikan bersama sehingga apa yang tidak baik untuk banyak orang akan disikapi sebagai ancaman bersama, dibahas bersama, lalu ditangani bersama. Sementara dalam kehidupan modern yang cenderung hedonis, setiap orang menjadi tidak peduli dengan masalah orang lain. Selain menyebabkan kesepian, hal ini menjadikan ketentraman jiwa berkurang, didominasi oleh agresi, ketakutan (yang memunculkan daya bertahan hidup) dan was-was/ kecurigaan, emosi, dan yang paling jelek adalah “susah melihat orang senang, senang melihat orang susah”. Yang terakhir, adalah termasuk penyakit kejiwaan.

6. Nilai-Nilai Religius
Ketika manusia merasa terpojok dalam kehidupan, tiada jalan keluar, maka religiusitas adalah kuncinya. Berbeda dengan pandangan kaum atheis yang menganggap agama adalah cara manusia melarikan diri dari ketidakmampuannya, dalam dunia religius manusia adalah makhluk yang mempunyai segala kekuatan. Namun ia perlu juga beristirahat dan perlu tahu arah hidup yang benar agar tidak ‘tersesat’. Kondisi tersesat dalam kehidupan modern ditandai dengan kehancuran kondisi kejiwaan karena kesalahan persepsi dan kelelahan psikis. Misalnya, menganggap bahwa hidup semata-mata mencari uang/ harta. Pencapaian yang selalu tidak sempurna (karena juga tidak terbiasa bersyukur alias merasa puas) menyebabkan seolah minum air tapi makin haus. Ingin lagi dan lagi. Kegelisahan bukan menjadi reda tapi justru makin besar.
Nilai religius muncul dalam banyak bentuk, yang intinya mengarahkan manusia pada tujuan yang lebih agung daripada keduniawian saja. Religiusitas membuat manusia mempunyai makna dalam kehidupan, sehingga merasa yang dilakukan adalah positif, memberinya arah dan menghindarkan dari kebingungan. Contoh religiusias misalnya prinsip hidup seperti Bushido, Konfusianisme, taoisme, ataupun agama dan berbagai aliran kepercayaan yang merupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom).
Selengkapnya

Mengakali Psikotes, Haruskah? Bolehkah? Atau Bisakah?


Sebagai sarjana psikologi, yang ingin saya paparkan pertama kali adalah kesalahpahaman masyarakat terhadap psikotes dan dunia psikologi itu sendiri. Psikotes atau tes psikologis sering dianggap sebagai momok yang menakutkan dan menjengkelkan, kiranya menyenangkan bila tak usah ada. Psikotes sering dianggap sebagai penghambat atau penghalang seseorang untuk masuk ke suatu tempat baik itu sekolah ataupun perusahaan tertentu. Kadang orang menganggap dirinya pintar atau skillfull tetapi kok tidak bisa masuk ya? Gagal karena psikotes. Imbasnya juga mengenai orang yang berhubungan dengan psikotes atau psikologi, misalnya HRD akan menjadi ‘musuh’ orang banyak dalam sebuah perusahaan, kecuali mungkin atasannya.
Ada suatu kejadian yang saya kutip di sini. Waktu penyelenggaraan psikotes sebuah perusaah tingkat nasional di UII, ada dua orang peserta yang mangkir dan kabur sebelum tes berakhir. Keduanya setelah dicek mengantongi gelar sarjana teknik dengan IPK yang cukup tinggi. Sepintas bisa dianggap bahwa keduanya adalah orang-orang skillfull dan pandai. Tapi, kemudian salah satu atasan kami (beliau bukan HRD) berkata, “Huh, sama psikotes aja mangkir.... gimana sama manajemen..?”


Hal itu saya ingat terus untuk menunjukkan relasi dan hukum kesamaan antara sikap terhadap psikotes sebagai aturan manajemen dengan manajemen perusahaan itu sendiri. Banyak orang menganggap bahwa yang paling penting adalah seseorang itu berkeahlian, tidak perlu lagi di tes yang gak ada hubungannya dengan keahlian seperti tes psikologis. Tapi tidak begitu pandangan manajerial dan kaum psikolog sendiri.
Terus terang saja, orang pengen diterima kerja ketika melamar ke suatu perusahaan. Atau pengen masuk ke sekolah atau jurusan tertentu. Kemudian ketika hasil psikotes mengatakan tidak, maka psikotes dianggap penjahat,”huh..gara-gara kamu aku gak jadi diterima!”
Karena itulah kemudian banyak yang mencoba mengakali, bisakah saya lolos psikotes?
Psikotes tidak dibuat untuk keberuntungan seperti soal pilihan ganda. Psikotes adalah untuk melihat kondisi dan potensi dasar diri seseorang. Sehingga pihak psikolog bisa merumuskan apakah orang ini cocok untuk suatu jenis pekerjaan atau tidak. Banyak yang menyanggah hal ini dengan mengatakan, bagaimana mungkin psikolog – orang yang asing – tahu tentang saya padahal tidak kenal? Lha wong orang yang berteman dengan saya bertahun-tahun saja tetap tidak mengetahui seperti apa saya yang sebenarnya?
Psikologi bukan ilmu tebak-tebakan, bukan ilmu ramal-meramal atau sifat berdasar shio dan zodiac. Tapi ilmu ilmiah berdasar penelitian, pengamatan mendalam, dan berbagai eksperimen seperti ilmu geologi atau kimia. Ilmu kimia saja bisa meramalkan kalau polusi udara bisa menyebabkan hujan asam, padahal tak ada yang tahu siapa yang membuang asam di langit. Apalagi psikologi. Ucapan sanggahan seperti itu adalah karena emosionalitas pribadi masing-masing yang tak rela jika dirinya diketahui, baik karena orangnya bersifat tertutup atau punya ketidaknyamanan tersendiri jika diketahui orang lain. Percaya tak percaya, psikotes mengungkap keadaan diri seseorang meskipun orang itu ngawur dalam mengerjakannya.
Coba kita lihat contoh psikotes misalnya tes menggambar pohon. Tes ini banyak dipakai untuk melihat kondisi diri seseorang mulai dari kecerdasannya hingga apakah ada masalah kejiwaan. Dalam tes ini kita disuruh menggambar pohon berkayu. Artinya pohon yang tidak menghasilkan kayu seperti pohon pisang, pepaya, atau pohon cabai tidak boleh digambar. Tapi ada beberapa pengecualian yaitu menggambar pohon beringin/ randu, cemara/ pinus (dan familinya), kelapa/ pinang (palm, termasuk kurma dsb.), bambu/ tebu dan rumput-rumputan, dan perdu/ sesemakan, termasuk pohon bakau. Darimana logikanya? Kenapa harus pohon berkayu sementara pohon berkayu sering tumbang kena angin, sedang pohon pisang lebih kuat menahan angin? Pertanyaan itu saya dapat dari seorang teman yang juga menghadapi tes ini.
Kalau boleh dijelaskan, tes pohon ini akan memaksa secara halus manusia menampilkan keadaan dirinya. Hampir sama dengan tes menggambar orang. Berlawanan dengan itu, manusia seringkali menutup sebagian sisi dirinya. Jadi secara gampang, bagian-bagian dari pohon akan menunjukkan aspek-aspek kepribadian kita. Sehingga pohon-pohon tertentu yang tidak memiliki bagian-bagian yang ada aspeknya itu dilarang digambar. Contoh saja (semoga teman-teman psikolog tidak keberatan), orang lebih suka menggambar pohon beringin (bentuk seperti lambang partai G*lk*r) atau pohon cemara karena tidak perlu menggambar detail cabang dan daunnya. Ini menunjukkan orang memang cenderung menutupi diri, atau kurang kemauan berusahanya. Padahal setiap bagian dari pohon ada interpretasinya. Dengan menggambar pohon sesuai instruksi, orang akan ‘menelanjangkan diri’ dan bisa diungkap secara detail. Meski tak sebegitunya detail, sebenarnya.


Nah, kemudian apakah bisa kita mengakali psikotes agar dianggap baik atau memenuhi syarat lalu diterima di sekolah/ perusahaan idaman? Itu menipu, namanya.
Pengalaman saya mengatakan tidak ada hasil tes yang menunjukkan bahwa orang itu terlalu buruk atau terlalu baik. Lagipula psikologi tidak berhubungan dengan nilai baik-buruk, tapi kondisi yang variatif. Kecenderunganlah yang dilihat, condong ke mana, ke bagian ini atau itu, jadi staff biasa atau mampu jadi staff kepala. Makanya dalam psikotes (dan kondisi apapun) kita harus menampilkan diri yang terbaik, membiasakan diri punya sifat baik seperti sabar, bertanggung jawab, bersemangat, dll. Lalu dalam tes harus kondisi prima, tidak kelelahan, sakit, atau ngantuk berat.
Psikolog yang sudah berpengalaman akan bisa melihat apakah hasil tes itu jujur, ngawur, ataupun pura-pura. Makanya kita tidak bisa mengatakan, supaya lolos psikotes harus menggambar pohon dengan batang yang begini, daun yang begitu, atau akar yang bagaimana lagi. Sebab sesuatu yang tidak alami akan nampak dari hasil goresan kita, dan itu ada interpretasinya lagi. Bagaimana kalau diinterpretasi bahwa kita suka menipu?
Pengalaman berkecimpung dalam psikotes membuat saya melihat lebih jujur tentang diri sendiri, seperti melihat kebanyakan orang yang kuat keinginannya tanpa melihat apakah dia mampu atau tidak, atau melihat orang-orang yang mengedepankan rasionalitas padahal tindakannya emosional. Banyak juga yang merasa pintar dan berkeahlian makanya menganggap toleransi, tepa selira, empati, kesabaran, dan kebaikan itu tidak penting. Padahal yang dicari perusahaan adalah orang yang setia, bisa berkerja mandiri ataupun berkelompok, jujur, rajin, dan mampu bekerja keras.
Bagaimana dengan IPK/ nilai? Itu cuma persyaratan saja.
Bisakah saya mengakali psikotes? Mungkin, jika tahu seluk beluknya.
Bolehkah itu? Sebaiknya tidak, kecuali jika kita tidak percaya pada Tuhan dan Hari Pembalasan.
Selengkapnya

Entri Populer