Selasa, 04 Desember 2012

Semilir 1

Ingatkah kau akan janjimu akan memberiku dua puluh pelukan dalam sehari? Kata-kata itu begitu manis terdengar, bahkan ketika kini tinggal terngiang. Namun telinga ini telah bising mendengar kata “sayang” dan “cinta” yang meluncur sebegitu mudahnya dari mulut-mulut mungil itu. Bukan diri telah muak dengan kesemuanya, namun perlu kupertanyakan kembali apakah apa yang berlaku diantara kita semua masih akan tetap seperti dulu, ataukah telah sedemikian mudahnya tergerus oleh sang waktu? Dan kemudian apakah semua yang telah kujalani bersama makhluk-makhluk indah itu tetaplah sesuatu yang sia-sia dihadapanmu, dihadapanku, dan di hadapan kita semua? Tanpa harus menjawab itu pun, sayangnya aku telah berubah haluan. Aku tak lagi mengharapkan semua itu, kendati hati ini masih terkadang menagih sesuatu yang kau tinggalkan tak sempurna dahulu. Aku belum tuntas menyetubuhimu, mempersatui jiwamu, dan aku juga belum ikhlas dengan semua yang terjadi hingga hari ini. Itu semua pula, menilik kepada masa teramat lampau yang dengan belum ikhlasnya masih menggelayut di ekor perjalananku. Debu-debu beterbangan, menambah perih di mata dan mengaburkan pandanganku. Aku hendak terjerembab, terhuyung di tengah angin dan pasir yang beterbangan di badai ini. Tak seekor kuda atau ontapun yang mampu menyelamatkanku kini, membawaku pergi menjauh dari padang gersang puing-puing sejarah ini. Aku terus berjalan mencari dataran ilalang yang dulu kutinggalkan demi kau. Aku terus mengharap dengan menuju arah Bintang Timur, aku akan menemukannya, menemukan kesucianku yang dulu sempat menjadi asal lahirku, citra sesungguhnya diriku, dan kutinggalkan dengan harapan janji manis darimu. Semua bibir yang kukecup, semua tangan yang kurengkuh, dan semua napas yang kubersamai dalam peluh, mungkin hanyalah gelombang kecil. Sebuah riak tak berarti dalam ombak kehidupan. Namun apakah diriku ini berarti, atau seberapa berartikah dirimu bagiku, dan bagi orang-orang itu, siapa yang sesungguhnya tahu? Siapa yang sesungguhnya tahu sehingga kita tak usah berdebat lagi? Pelukan itu, desahan itu, singkirkanlah selamanya dari hatiku. Karena aku kini mengikuti jalan angin, mengikuti sinar rembulan, mengalun bersama ombak dan badai. Untuk menyingkirkan badai terkuat yang pernah kau ciptakan bersamaku dahulu, dalam pelukan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer