Senin, 02 April 2012

Orang Tua dan Anak-Anak Tak Jauh Beda

Orang tua selalu menganggap anaknya tetaplah anak-anak. Meskipun anak itu sudah berusia kepala tiga dan menjadi manager sebuah bank atau perusahaan besar, mereka sering memperlakukan anaknya sebagai “their sweet babies”. Sementara itu, anak-anak juga menganggap orang tua mereka sebagai makhluk yang kuno dan kolot. Padahal seringkali antara anak dan orangtua tidak jauh berbeda. Coba kita lihat hal-hal berikut ini:


1. Suka bermain
Siapa bilang orang dewasa tidak pernah bermain? Mereka juga mau diajak bermain badminton atau futsal, just for fun, bukan latihan untuk jadi atlet. Kadang mereka mengerjai teman sendiri, atau berselingkuh (termasuk permainan kan?), dan banyak lagi aktivitas orang dewasa yang sebenarnya bertujuan mencari kesenangan, secara, bermain. Orang dewasa juga tidak menolak dan bahkan menikmati kalau diajak bermain dalam acara outbound atau semacamnya.
Lebih jelas lagi, lihat berikut ini:
a. Maen air = arung jeram
b. Maen perang-perangan = paintball atau airsoft gun
c. Mainan elektronik = nge-game komputer, Playstation, Xbox, dll
d. Mobil-mobilan/ kapal-kapalan = remote control atau aeromodelling
e. Maen keluyuran kemana-mana, mendaki gunung, jalan-jalan, dll
f. Maen sepedaan, motoran, ampe bikin geng motor gede sekalian
g. Serupa maen gundu maen golf, atau serupa kasti jadi baseball
h. Banyak juga orang dewasa mengkoleksi action figure atau pernak-pernik yang berhubungan dengan film atau tokoh komik tertentu, mengikuti cosplay, dll.

2. Menganggap bahwa dirinya sudah tidak bisa belajar hal baru
Anak menyerah sewaktu belajar? Terlalu sulit? Matematika sampai mati-matian? Orang dewasa juga sering menganggap dirinya sudah tua, tak secerdas dulu lagi, sehingga tak mau belajar sesuatu yang baru seperti teknologi, misalnya. Contoh konkrit, ibu gue coy, katanya gak bisa lagi belajar, nyatanya ketemu guru les baca Qur’an dan dibimbing intensif akhirnya sekarang udah bisa baca Qur’an padahal dulu waktu kecil gak pernah ngaji.

3. Menganggap komik dan kartun adalah untuk anak-anak
Kolektor komik kebanyakan orang dewasa. Klo diliat seperti di negara Jepang misalnya, namanya komik atau kartun punya genre atau usia konsumen tertentu yang disebut rating. Misalnya klo ratingnya 15 th keatas artinya anak dibawah 15 tahun gak boleh baca. Komik Crayon Shinchan aslinya untuk remaja, tapi di Indonesia dianggap tontonan bayi, makanya jadi perlu kerja keras untuk men-sensor muatan-muatan yang gak sesuai buat anak-anak.
Komik untuk dewasa, tentu beda banget dengan komik untuk anak. Makanya klo ngeliat komik berilustrasi rada sensual dikit atau kejam dikit, ortu langsung beranggapan komik itu banyak jeleknya, atau merusak anak-anak. Ya iyalah klo itu komik dewasa ngapain dibaca anak-anak.. ini yang bego siapa coba?

4. Menganggap dirinya paling benar dan tak mau menerima masukan
Biasanya nih, klo namanya anak tu selalu merasa benar sendiri, egois dan ego-sentris alias dirinyalah pusat kebenaran. Anak-anak sulit dibilangin, klo maunya tas gambar Naruto ya gak mau lah klo dikasih tas gambar Doraemon, apalagi Dora. Mau orangtua bilang ini yang bagus, itu yang jelek, tetap aja anak gak mau nerima alasan logis orangtuanya.
Ternyata, orang dewasa banyak juga loh, yang ngerasa dirinya lah pusat kebenaran alam semesta ini hoho.. jadi klo ada orang yang ngasih tau atau ngasih masukan, gak diterima. Klo ada pengajian di tivi yang menyinggung perilakunya, langsung dimatiin atau dipindah channelnya. Itu semua bisa terjadi pada orang pinter ataupun bodoh. Jadi bisa aja orang dewasa karena merasa berilmu makanya gak mau ngikut ilmu orang lain. Bisa juga kurang ilmunya tapi keukeuh dengan pendapatnya, mau bumi langit jungkir balik dia lebih percaya ama keyakinannya sendiri daripada omongan orang. Parahnya, klo orangtua macam ni udah nolak klo diajak mencari kebenaran atau ngebuktiin sesuatu yang keliatan (misalnya, ngebuktiin klo Jakarta itu jauh dari Imogiri, tapi gak mau diajak pergi jalan-jalan), artinya orang ini udah masuk kategori sakit jiwa karena dia ‘takut’ melihat sesuatu yang diluar keyakinannya.

5. Inkonsistensi
Anak-anak abis berantem bisa baikan lagi, ketawa-ketiwi maen bareng. Anak-anak belum bisa dikatakan konsisten, makanya mesti diatur pake jadwal, kapan belajar, kapan bangun tidur, makan, mandi, dll. Orangtua juga sering ngomong sesuatu yang akhirnya dilanggar sendiri. Bilangin anaknya “kamu jangan merokok” lah dianya sendiri merokok. Di masa dewasa, seorang anak akan lebih mengingat tindakan dan perilaku orangtuanya daripada omongan dan ajaran-ajarannya.

6. Berbicara tanpa bertindak dan bertindak tanpa berpikir
“Dipikir dulu, klo mau ngapa-ngapain tu..” begitu kata orangtua. Apakah orangtua sendiri selalu berpikir sebelum bertindak? Tidak juga. seringkali mereka nekad, atau karena sudah terdesak makanya asal jalan aja, seperti kata orang, “hantam dulu, urusan belakang..”. Kebalikannya, banyak bicara tapi gak bertindak, ngomong muluk-muluk yang tinggi-tinggi, tapi kenyataan yang ada gak sebegitunya. Kadang orang dewasa juga ngibul ama generasi muda buat ngeyakinin bahwa mereka punya prestasi sehingga berhak nyuruh juniornya supaya berusaha berprestasi.

Begitulah beberapa penemuan tentang tidak jauh berbedanya antara anak-anak dengan orang dewasa. Semoga bermanfaat, Salam Kampanye!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer