Lagu sedih atau yang kita kenal sebagai lagu mendayu-dayu, dengan irama-irama minor yang seringkali menceritakan kisah sedih, biasanya lebih enak didengar. Ada juga lagu yang laris seperti lagunya Mariah Carey “I can’t Live Without You”. Lagu dari Josh Groban “You Raise Me Up”, atau lagu-lagunya Kitaro, meskipun tidak menjadi sangat populer namun mempunyai penggemar tersendiri. Penggemar lagu-lagu ini tergolong bukan maniak, tapi mempunyai kesan mendalam. Lagu Indonesia seperti lagu-lagunya Naff, Cokelat, Drive, dan lain-lain kebanyakan mempunyai irama sendu dengan bumbu konflik. Bahkan lagu rock atau heavy metal yang disukai orang pun bumbunya adalah nada sendu, kisah cinta tragis, atau konflik berisi konten emosional mendalam. Kesimpulannya, bukan lagu gembira yang menempati tangga nada teratas setiap tahun.
Bagaimana dengan lagu cinta? Lagunya Bruno Mars atau lagu-lagunya Westlife juga bukan lagu gembira. Nada-nadanya lebih ke arah sendu, mengalun, atau nge-bit dengan hentakan irama yang bisa membuat orang ingin ber-ajojing mengikuti irama. Perlu kita tahu bahwa bit atau hentakan adalah bentuk musik paling kuno yang paling ampuh mempengaruhi emosional manusia. Itulah kenapa kebanyakan lagu rap itu dibilang bagus, bukan hanya karena liriknya yang seperti puisi, tapi hentakannya sejak detik pertama sudah memikat. Lagu gembira yang seperti lagu anak-anak jarang kita temukan dalam industri musik modern (untuk orang dewasa).
Lagu mengalun seperti Celine Dion punya, atau lagu underground, heavy metal, sama-sama laris. Bahkan dangdut, laris karena dua hal, hentakan dan irama sendunya. Kalau mau diambil kesimpulan, setiap konten lagu yang bersifat emosional cenderung laris. Meskipun ada juga lagu yang sifatna komedi atau humor, namun tidak akan sepopuler atau selaris lagu sendu, sedih, atau emosional. Dari paragraf satu hingga tiga ini, pertanyaannya adalah mengapa?
Ternyata kaum ilmuwan juga tergelitik untuk meneliti popularitas sebuah lagu. Ternyata dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pada saat mendengarkan musik, terutama dengan nada-nada tinggi dan konten emosional, otak manusia mengeluarkan senyawa dopamin. Senyawa neurotransmitter ini diproduksi juga pada saat manusia makan atau melakukan hubungan seks. Senyawa ini menyebabkan manusia merasakan suatu perasaan seperti saat mendapat pujian, menyukai sesuatu, senang, dan bersifat seperti candu. Kebanyakan senyawa neurotransmitter dalam otak mempunyai pengaruh zat aditif terhadap syaraf. Contohnya jika kita merasakan suatu sensasi petualangan yang menantang, maka kita akan ingin melakukannya lagi meskipun itu hal yang berbahaya. Sekali pernah terjun bungee jumping atau flying fox, pasti ingin lagi dan lagi. Lagipula, manusia adalah makhluk yang mudah merasakan empati, simpati, dan cenderung melakukan self-reference yaitu mencocokkan dengan dirinya sendiri. Ketika sebagian manusia pernah mengalami sesuatu yang bersifat emosional, maka jika ia bertemu cerita dari orang lain yang mengalami hal yang sama, ia seperti mendapat penguatan atas dirinya, “ah, aku juga mengalami itu lho..”. maka tak heran jika lagu cinta tragis, yang berkisah tentang pengkhianatan, kehilangan/ ditinggalkan, perselingkuhan, berisi kemarahan, dan konten-konten serupa akan laris dan disukai banyak orang sebagai gejala sosial.
Sumber:
http://www.scena.org/lsm/sm8-2/musique_biologie_en.htm
http://jakarta45.wordpress.com/2008/11/29/musik-pencerdas-bangsa/
http://www.psypost.org/2011/01/listening-music-dopamine-drugs-sex-3583
dan lain-lain...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar