Rabu, 16 Mei 2012

Bukan Galau, Tapi Gundah

Ada sesuatu yang jahat menyelup di pengaduanku. Ada sesuatu yang jahat menyelip di relung jiwaku. Jika aku tak berhenti berlari, mungkin besi-besi berdenting lagi. Betapa jahat pun mereka yang rongrong bumi ini, tapi aku bisa menyatui bila terlalu kental melawani, bahkan menjadi meski kubenci, ya, menjadi apa yang dibenci.. Aku mengantuk. Aku lelah memikirkan seberapa jahat telah mereka berlaku. Aku lelah merasakan apa yang tak semestinya kurasakan.. tapi dalam kantuk itu aku bersiaga seumpama kan datang lain pula, dan aku menunggu dalam lelahku. Katakan padaku hai mentari jingga, berpuluh tahun bercinta kasih, apa yang seorang pria kan lakukan pada dirinya sendiri di titik nadir? mencari dan mengumpulkan segarnya embun kah? atau tak berguna semua itu keluh-kesah, dan semua itu peluh-lelah, yang membimbing membayang dalam gundah? Ada terlalu banyak kejahatan dalam diriku.. tapi di kesungguhan hanya puisi yang membuatku tetap hidup, bertahan, dan bertapa, dalam relung terpencar nadi jiwa. Aku tersenyum, masih. Menangis meraung di ruang diantara ruang. Aku tertawa, masih. Teteskan airmata di sela embun di tengah keyakinan bahwa semua tak berarti. Nanyi sunyi dalam hening, hentakkan gelap sibak cahaya hingga silau dan tetap semua tak berarti kecuali kejahatan-kejahatan itu.. Tibalah aku sang penyesal diri, saat sudah semua baik orang lari, gundah gulana di gelap gulita. Relung isak heningku yang tersamar dari rembulan pucat dan tatap mata serigala kelabu, saat Vebus bersinar sangat cerah, saat hati berselaput gundah, datanglah dan tusukkan ke hatiku. Benamkan dalam-dalam, agar itu mampu merenggutku dari menjadi layu. Hanya Engkau, dan hanya itu.. Satu. (Sedayu, 16 Mei 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer