Tujuan berlatih
beladiri, seni-beladiri, dan Seni beladiri berdasar filosofi bukan semata-mata
melatih senjata pembunuh seperti cakar atau taring binatang buas. Awalnya
manusia menyadari keterbatasannya secara fisik lalu mengupayakan cara
melindungi diri terhadap serangan binatang, dan berlanjut terhadap serangan
manusia lain. Dari ilmu jaga diri berubah menjadi bela diri, lalu dibudayakan
menjadi sebuah seni. Seni beladiri seperti sebuah aktivitas fisik yang
mengembangkan kekuatan raga ternyata berpengaruh pada kekuatan jiwa. Menguatkan
atau melatih kemampuan tertentu dari anggota badan kita membentuk suatu kesatuan
sifat-sifat yang mewarnai kepribadian kita. Misalnya kedisiplinan, keuletan,
kewaspadaan, dan akhirnya ketenangan. Itulah warna-warni yang didapat dari
hasil latihan secara berulang dan terus-menerus.
Tidak heran
apabila ragam seni beladiri berkembang disesuaikan dengan karakter manusia yang
dipengaruhi iklim dan kondisi geografis. Tidak heran pula latihan beladiri
tertentu membentuk karakter manusianya. Misalnya, seorang yang berlatih gaya
tinju selatan yang menekankan gerakan strategis jarak dekat akan memiliki
karakter kepribadian berbeda dengan rata-rata orang yang berlatih gaya
tendangan utara. Beladiri yang menekankan pada menangkis dan membentur akan
mempunyai efek kejiwaan yang berbeda dengan beladiri dengan tipe menyerang
sambil menghindar. Tipe atau karakter kepribadian, khususnya kecenderungan
dalam menghadapi masalah sangat erat kaitannya dengan tipe atau karakter seni
beladiri atau teknik yang dilatih. Hal ini bukan barang baru, sebab dalam ilmu
psikologi khususnya psikologi proyektif dapat ditemukan bahwa penggambaran
karakter internal (jiwa) dapat dilihat dari karakter eksternal (karya atau
visualisasi lain seperti gambar, tulisan, dll.).
Sebelum lebih
jauh, jika kita tilik konsep dasarnya, jiwa akan kita temukan sebagai elemen
diri yang tumbuh berkembang seiring perkembangan diri. Jiwa turut menjadi
respon dari pembelajaran terhadap dunia nyata. Jiwa juga merupakan hasil dari
tubuh dan aspek internal bawaan, yang sering disebut ruhaniah (jasmani-ruhani).
Namun jiwa bukan merupakan satu hal yang mandiri melainkan kesatuan dari
berbagai aspek, seperti juga kecerdasan yang terbagi menjadi banyak bagian.
Dalam segi visual (inderawi) jiwa adalah penggerak dari perilaku, atau
kecenderungan bagaimana cara seseorang merespon sesuatu dari dalam (tubuh fisik)maupun
luar dirinya (stimulus luar). Jadi jiwa diamati dengan perilaku sehingga ilmu
kejiwaan sebenarnya adalah ilmu perilaku. Namun apa yang membedakan perilaku
orang satu dengan lainnya bukanlah semata-mata dari segi kuantitasnya saja. Ada
hal-hal yang dinilai secara kualitas berdasarkan makna atau bobot nilai
tertentu. Itulah yang kemudian menjadikan orang dikenal sebagai pemilik jiwa
yang kuat atau lemah. Jika orang mudah menyerah, misalnya, maka dikatakan ia
lemah meskipun secara fisik ia berotot.
Pikiran, identik
dengan kesadaran. Pikiran bukan hanya logika atau kecerdasan, tetapi juga
aktivitas dan seberapa aktif proses berpikir itu terjadi/ dilakukan. Pikiran
(mind) adalah sebuah ke-ada-an dan ke-ber-ada-an, yaitu kondisi dan sekaligus
eksistensi dari suatu elemen diri yang berfungsi sebagai alat menalar segala
sesuatu, secara aktif. Pikiran itu hidup, tapi tidak selalu dihidupkan dan
bahkan tidak selalu menghidupkan. Pikiran dihidupkan bila difungsikan dengan
baik sesuai fitrahnya. Adakah yang tidak berfikir? Banyak, yaitu bila orang
bertindak secara serampangan, enggan menimbang-nimbang terlebih dahulu dan
hanya menuruti suatu dorongan dari dalam dirinya. Pikiran akan menghidupkan
diri dan jiwa apabila membawa tubuh berperilaku yang bermoral, bermakna, atau
bermanfaat bagi semua. Dengan perilaku yang bermanfaat maka diri akan merasakan
pencerahan atau kebahagiaan sehingga selaras antara pikiran, tindakan, dan
perasaan. Sebaliknya, diri akan merasakan pertentangan ketika melakukan
perbuatan yang melanggar prinsip alamiah, membuat kerusakan, dan menyakiti
sesuatu. Pertentangan ini disebabkan diri mempunyai dasar dorongan terhadap
kebaikan sebagai fitrah alami manusia, namun tubuh fisik digerakkan menuruti
dorongan lain yang tidak dikendalikan oleh kesadaran, inilah yang disebut hawa
nafsu.
Kesadaran adalah
suatu kondisi saat diri sadar dan menyadari (conscious and aware), atau waspada. Kesadaran dekat dengan
kehati-hatian yang artinya menggunakan hati atau menakar, menimbang-nimbang dan
memperhitungkan. Sadar adalah mengerti apa yang terjadi, apa yang dilakukan
beserta segudang bawaan dari tindakannya itu. Jadi bila seseorang tidak sadar
ia cenderung berlaku salah dan merusak. Adakah orang yang tidak sadar? Ada.
Antara lain jika kita pernah mengalami tindakan spontanitas, keceplosan
ngomong, dan melakukan sesuatu saat perhatian kita teralihkan, maka saat itulah
kita sadar tapi tidak menyadari alias tidak sadar sebenarnya.
Fisik adalah
manifestasi (pengejawantahan) dari jiwa, dan pikiran adalah penggeraknya. Fisik
juga berlaku sebagai pembentuk dan pelatih jiwa, dengan pikiran sebagai
pengendalinya. Tujuan berlatih beladiri adalah mengintegrasikan antara tubuh
fisik, jiwa, dan pikiran agar bisa selaras. Latihan beladiri adalah melakukan
suatu hal yang tertata dengan kesadaran, diawali dengan niat kuat dan sadar
(kemauan) serta dikendalikan supaya memenuhi target tertentu dan tidak menyerah
di tengah jalan. Untuk tidak menyerah, fisik dikendalikan oleh pikiran. Agar
pikiran mampu mengendalikan, perlu adanya kesadaran. Jadi mengolah fisik
didahului dengan memantapkan pikiran ternyata juga didahului dengan
mengaktifkan kesadaran. Lebih lanjut, hasil latihan beladiri ternyata
menghidupkan baik fisik (sehat) maupun mental (pikiran, perasaan, dan kesadaran
itu sendiri). Sehingga latihan beladiri mempunyai suatu puncak yang
berlapis-lapis bernama “taraf kesadaran”. Semakin tinggi tingkatan ilmu
beladirinya, orang memiliki taraf kesadaran yang lebih tinggi. Dari sinilah
muncul sebuah konsep moralitas (wu de)
yang bukan hanya untuk mengendalikan kekuatan yang dimiliki, namun lebih kepada
bagaimana orang berpikir dan bertindak secara nilai-nilai yang lebih unggul/
mulia.
Tindakan,
pikiran, dan perasaan yang disadari menjadi status mental yang lebih mulia
ketimbang kondisi biasa (orang yang tidak berproses dengan disiplin beladiri).
Kita tidak akan bisa melepaskan status mental dengan elemen dasar lain yaitu
spiritualitas. Bagaimanapun jiwa (mental secara spesifik) adalah hasil
percampuran atau area pertemuan dari elemen fisik dan spirit (ruh). Jiwa
mempunyai sifat fisik yang disebut hawa nafsu, dorongan atau keinginan terhadap
kebendaan dan hal-hal biologis. Namun jiwa juga mempunyai kecenderungan ruhiyah
yaitu pasrah dan kedamaian, cinta kasih serta kebahagiaan. Termasuk rasa takut
dan marah, cemburu dan iri, bahkan dendam, adalah anak-anak dari elemen-elemen
dalam jiwa yang dimotori oleh sifat fisik dan ruhani. Bedanya, elemen negative
seperti takut atau marah lebih bernuansa fisik, misalnya takut mati, marah
karena tidak jadi mendapat yang dibutuhkan, dll. Sedangkan kedamaian, cinta
kasih dan kebaikan adalah elemen ‘tenang’ yang merupakan pengaruh ruhaniah.
Semua aspek internal itu akan dikendalikan oleh kesadaran dengan alat bernama
pikiran. Semakin kuat kesadaran, semakin kuat fungsi pikiran. Pikiran yang
hanya berfungsi secara logis (kecerdasan) adalah pikiran yang lemah, karena
tidak mampu menggerakkan jiwa dan tubuh dalam perilaku. Inilah yang sering
menjadikan distorsi atau ketidaksesuaian antara pikiran dan perilaku. Misalnya
di satu sisi orang mengakui bahwa merokok itu tidak sehat tapi ia tetap saja
merokok meskipun tidak terlalu mencandu.
Beladiri
bertujuan untuk meraih taraf kesadaran yang lebih tinggi, selalu lebih tinggi,
karena diatas langit masih ada langit, kata pepatah. Taraf kesadaran menjadikan
nilai kemanusiaan yang lebih baik, Nampak dari perilaku dan tutur kata,
misalnya. Artinya beladiri berbicara soal kualitas, bukan semata-mata
kuantitas. Soal kemampuan dalam beladiri, jika akhirnya hasil latihan hanya
diberatkan pada aspek mental bukannya fisik, maka akan menjadi harta kekayaan.
Lebih baik punya tapi tidak butuh daripada butuh tapi tidak punya. Lebih baik
bisa membunuh orang tapi tidak perlu membunuh, daripada membunuh tanpa
keperluan atau perlu membunuh tapi tidak mampu.
Akhirnya,
diketahui bahwa tubuh fisik, pikiran-kesadaran, dan jiwa semuanya berintegrasi
dalam poros dasar/ utama yaitu spiritualitas. Spirit adalah dasar dari fisik,
seperti chi yang menjadi pembentuk/ unsur dasar segala sesuatu di alam semesta.
Memahami spiritualitas adalah memahami betapa kita sebenarnya sering terjebak
dalam ilusi-ilusi seperti ilusi kebendaan, ilusi visual, dan ilusi pikiran
(fantasi). Tidak ada yang sebenarnya terpisah, semuanya menyatu sebagai kesatuan
(integral), antara bagian-bagian tubuh, antara kelima elemen (air, api, tanah,
kayu, udara), antara bumi dan
langit, dan antara tubuh-jiwa-pikiran. Spiritual adalah bicara soal hakikat
dasar, kembali ke asal dengan sifat-sifatnya yaitu alamiah. Maka dari itu
seseorang akan sehat apabila tidak ada pemisahan antara tubuh-pikiran-jiwa atau
memperlakukan semua itu sebagai suatu kesatuan. Berolah pikir saja atau berolah
fisik saja pastilah tidak sehat. Antara yang internal dan eksternal juga harus
diintegrasikan sehingga orang tidak usah membentuk ego dan alter-ego ala Spiderman-Peter
Parker, atau Batman-Bruce Wayne. Orang harus menyatukan antara ego dan
alter-ego sehingga menjadi transparan dan apa adanya, tidak bertopeng, tidak
berlagak, tidak menutup-nutupi karena rasa takut yang tidak perlu. Hilangnya
rasa takut (insecurity of status) akan tumbuh menjadi keberanian dan
kewibawaan. Itulah yang disebut ‘Shen’
(ketenangan/ wibawa). Keberanian pula diikuti ketenangan dan kedamaian. Itulah
yang kemudian disebut ‘Sum’ alias
kejernihan hati, ibarat air jernih yang akan tetap jernih meski diaduk-aduk
seperti apapun.
(ditulis sebagai hasil studi literatur dan diskusi tentang Tai Chi Chuan)