Senin, 25 Februari 2013
Sebuah Catatan Awal Tahun
Sebuah awal, dan juga akhir. Awal tahun masehi dan akhir tahun imlek. Namun akhir selalu merupakan awal bagi sesuatu yang baru, dan awal dari sesuatu takkan ada tanpa berakhirnya sesuatu yang lain. Kumpulan kata-kata itu barangkali filosofis sekaligus klise yang diulang-ulang. Sedangkan sesuatu yang diulang-ulang biasanya akan pudar atau kehilangan maknanya. Kelucuan yang diulang-ulang menjadi tidak lucu lagi, begitu pula dengan kesedihan.
Hal yang paling membuatku syok seumur hidupku – yang telah kulalui hingga kini – bukanlah terpisahnya kedua orangtuaku, perceraian mereka, bukan. Namun sebuah kenyataan bahwa ternyata orang-orang yang selama ini mengkerdilkanku dan menginjak-injak harga diriku dengan menyebutku sebagai ‘anak kecil’ ternyata telah kemudian menampakkan jati dirinya yang serupa anak kecil. Dan, mungkin yang lebih membuatku merasakan efek kehebohan itu adalah karena aku selama delapan tahun terakhir ini bergaul, berhubungan, menelaah, dan keluar-masuk dunia yang berisi anak kecil. Aku seorang guru, meski bukan yang sebenarnya. Aku pula seorang yang entah mau disebut apa, karena pekerjaanku melibatkan anak-anak dan remaja, memberi mereka tes, mengajak belajar, bermain, diskusi, dan semuanya atas nama psikologi. Pendeknya, aku berkecimpung di dunia yang dipenuhi anak-anak. Sebenarnya bukan secara harfiah anak-anak, namun remaja. Tapi apalah bedanya, buatku mereka memang belum memiliki taraf kedewasaan yang membuat mereka disebut manusia dewasa. Jadi aku tahu persis anak kecil itu seperti apa, dan yang bukan anak kecil itu seperti apa.
Sejak aku kecil pun, sebenarnya banyak kulihat orang dewasa yang menampakkan sisa-sisa kekanak-kanakannya secara lugas. Tapi yang kemarin, bukanlah sesuatu yang kecil seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya, ketika aku masih bisa disebut anak kecil, aku sudah memahami fenomena itu. Orang dewasa tetaplah bekas anak-anak. Namun kemudian, ketika orangtuaku memberangusku dengan sebutan “kamu anak kecil diam saja!” lalu pada akhirnya mereka memintaku memilih – klise banget, seperti kebanyakan kisah perpisahan yang sudah ada – antara keduanya, mereka juga seolah tidak menerima kata kompromi, bargaining, atau gencatan senjata. Adanya cuma pilihan yang sudah mereka bikin sebagai hakim agung sekaligus eksekutor persis di film Jugde Dredd.
Usiaku waktu itu 26 tahun, mungkin. Karena aku juga sudah samar tentang itu, dan aku sudah sering menjadi konselor bagi anak-anak muda. Tapi bagaimanapun di hadapan orang tuaku, aku masihlah terlalu kecil. Padahal di hadapanku, mereka seolah tak ada bedanya dengan para remaja yang saban hari ku temui untuk konseling dan semacamnya. Siapa yang sebenarnya anak kecil diantara kita? Tanyaku. Kalimat itupun hanya sempat menghiasi akun fesbuk sebagai sebuah status yang kemudian tak mendapat respon kecuali di-like oleh beberapa orang lewat.
Awal tahun ini, berakhirlah sesuatu, masa ke-duda-an ayahku. Ia menikah lagi dengan seseorang yang entah bagaimana bisa bertemu, setelah sebelumnya jalinannya dengan sesseorang yang lain kandas dan kata beberapa orang yang mengaku tahu, itu ada hubungannya pula dengan yang dilakukan ibu, mantan isterinya. Tiba-tiba pada beberapa hari sesudah nikahnya, seseorang datang mengamuk dan meracau, berkata ia juga turut memiliki ayahku, lalu mengancam isteri barunya dengan omongan keji. Responnya, bunda baruku tiba-tiba pergi tanpa pamit, dan baru kembali sore harinya. Babe menangis sesenggukan di bahuku, aku hanya menarik napas seperti saat latihan Tai Chi, saat dimana aku menetralisir semua kejahatanku. Meski akhirnya semua baik-baik saja, namun catatan ini tetap bergulir.
Sering sudah aku dikatai anak kecil dan oleh karena sebutan itu hak-hakku diberangus. Aku sedih dan marah, namun bisa apa? Aku hanya melakukan sesuatu yang disebut ayah sebagai “diam-diam frontal”. Tapi aku berjanji, saat ini aku bukanlah aku yang kecil dan dungu. Aku sudah bisa melawan, baik dengan kekerasan maupun kelembutan. Aku seudah pernah mengalami kejahatan – sebagai pelakunya – yang bahkan tak berani terpikir oleh mereka-mereka yang menganggapku kecil. Aku menjadi cuek, bersandiwara tanpa bersandiwara, ‘nglegani’ tanpa menjadi munafik hipokrit, aku biarkan semua mengalir seperti keluarnya air seni dari lubang kemaluan. Aku katakan saja,”mereka sudah dewasa, dan sudah bisa bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.
Aku menunggu saat itu, saat dimana aku berdiri diatas semuanya, ketika semua tunduk bersujud di bawah kakiku. Saat dimana aku masih akan menyebut diriku sebagai anak kecil di hadapan mereka, tapi memperlihatkan bahwa anak kecil ini bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dilakukan si besar. Aku pun siap membuang mereka, seperti membuang kejahatanku di masa lalu, atau membuang kesucianku di tahun-tahun yang lebih lampau lagi.
Tahun ini, karir yang sesungguhnya baru dimulai. Setelah bertahun-tahun kuhabiskan menyembuhkan diriku sendiri tanpa bantuan sesiapapun dari mereka yang mestinya membantuku, aku takkan pasang harga untuk mereka nanti merangkulku kembali. Gratis? Lebih tepatnya tidak dijual! Aku tumbuh sendiri, aku memiliki diriku sendiri, dan takkan kubagi ke siapapun yang merasa pernah atau masih memilikiku. Jika kekejian kata-kata ini membingungkan, akan nampak jelas dengan menatap kedua mataku, dan melihat apa yang tersimpan di sana. Bagi mereka yang mengancamku dengan darah padahal tidak kuasa melihat darah, mereka yang mengataiku kecil padahal mereka sendiri lakukan yang dilakukan anak kecil....aku tahu kenapa mereka begitu, karena mereka sesungguhnya kecil dan lemah, takut dan tidak teguh, tapi berusaha menyembunyikannya dariku agar nampak besar di hadapanku. Mereka hanya bersembunyi, mereka hanya bersandiwara. Tapi aku tidak! Aku sudah mulai perlihatkan taring ini, dan mereka sudah mulai terlihat getarannya. Atau lebih tepatnya, mereka akan terhisap ke dalam rongga perutku setelah aku membelit mereka lembut, namun kuat dan tak terelakkan. Itu sudah mulai terjadi. Tahun ini, bukanlah awalnya...karena sudah berlangsung beberapa saat. Tapi bagi mereka, kengerian baru mulai disadari. Aku akan menghantam semuanya seperti ombak. Aku akan menenggelamkan mereka seperti tenggelamnya atlantis. Aku akan membuat mereka – tak peduli apapun yang akan mereka katakan – menjerit dan menangisi kebebalan dan kesalahan-kesalahannya. Meskipun, aku hidup tidak untuk membuktikan bahwa mereka salah, tapi untuk membuktikan bahwa apa yang kuyakini benar, itu baik bagiku. Begitu kata Mario Teguh.
Mungkin setan dalam diriku mengajakku untuk menghukum mereka semua, semua orang yang terlibat, atau menghancurkan mereka seperti apa yang biasa menjadi prinsip lamaku, “tidak ada keadilan, harus balas dendam!”. Tapi rasanya aku punya sesuatu yang lebih asik untuk dilakukan...dan itu akan kulakukan.
Aku akan tetap tersenyum ramah, seperti yang selalu kulakukan pada mereka-mereka yang kucintai dan kusayangi. Tapi di balik senyumanku selalu ada sesuatu, dan itulah yang mulai mereka takutkan sekarang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri Populer
-
Seorang boss akan melakukan hal yang berbeda dengan seorang ayah. Jika hubungan ayah-anak disamakan dengan boss-pegawai. Seorang boss y...
-
Jika dalam pewayangan dikenal Arjuna sebagai sosok pria sempurna, maka dikenal pula sosok Srikandi sebagai wanita idealnya. Ada pula sos...
-
Beladiri adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi bahaya. Ada beberapa macam kondisi bahaya misalnya perkelahian, aksi kejahatan, kecel...
-
“SAPTA DAYA GESANG MANUNGGAL” By: Ki Mas Ngb. H. Adi Asmoro Sapta Daya Gesang Manunggal Ji Sae Manjing Nir Waras sepisan Kapi nDhagel ...
-
Dalam kisah pewayangan, kesempurnaan seorang laki-laki identik dengan sosok ksatria Arjuna. Meskipun Arjuna dalam kisah Maha Bharata se...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar