Mereka menyukai Aya. Mereka selalu menyukainya, sebagai seorang lady sejati, penampilannya, pembawaannya, dan semua yang ada padanya disukai kebanyakan orang. Cobalah lihat, tinggi badannya 167 cm, dengan ukuran pinggang yang berkebalikan dengan ukuran perutnya. Kata orang seperti biola atau gitar spanyol. Dadanya membusung ditambah dengan sikap berdiri maupun duduk yang tegak membuatnya nampak anggun dan seksi. Senyumnya, tatapan matanya, dan gerakan-gerakan kepalanya saat menoleh, selalu melibatkan rambutnya yang panjang, hitam, dan halus bak bintang iklan shampoo. Berkebalikan dengan Momo, dari penampakannya, cara dia tersenyum, tidak berbeda dengan caranya makan. Membuat orang mual, kata sebagian besar cowok. Momo, adalah gudang lemak yang bermata tajam, dengan bibir tebal yang senantiasa ditekuk ke bawah, ekspresinya pun selalu tak enak, seperti setiap pagi ia habis dimarahi orang sepanjang jalan. Bukan lipatan badannya yang membuat cowok ill feel, tapi, menurutku, lebih ke bagaimana dia berperilaku.
Tapi hal-hal itu tidak berlaku bagiku. Suatu ketika, Aya berkesempatan duduk dekat denganku, dan aku menatapnya seperti menatap sebuah lukisan abstrak. Ia buru-buru meninggalkanku dan tempat itu, seperti kalau ada cowok yang (tidak keren) coba-coba mendekatinya. Bedanya, kalau ada cowok mendekatinya, ia akan pergi dengan sesungging senyuman sinis dan tatapan aneh. Namun kala itu, senyum itu hilang, berganti dengan tatapan yang gelap. Aku merasakan tatapan itu berarti “ketakutan”.
Momo pernah juga duduk bersamaku, dan teman-temannya di pojokan berbisik-bisik. Namun aku diam saja, cuek, dan apapun yang terjadi diantara kami, aku tanggapi dengan dingin. Aku memang dingin, mungkin. Tapi rasanya tidak pada setiap orang, atau tidak pada setiap situasi. Entah apa yang kulakukan, seingatku Momo pun memilih pergi bersama teman-temannya meninggalkanku.
Aku adalah pria yang berada di luar dari kedua dunia itu, dunia Aya ataupun Momo. Aku tidak tahu apa yang kulakukan, kukatakan, yang jelas, perasaanku adalah, aku tidak bersimpati kepada keduanya, dan tidak anti keduanya. Hingga suatu saat, ada beberapa cowok sok aksi yang menegurku. Katanya aku ini kejam. Aku satu-satunya yang tidak mengapresiasi – atau lebih tepatnya memuja – Aya. Tapi kembali ke pikiranku, aku tidak menjadikan Aya sebagai kuil pemujaanku, tidak pula menjadikan Momo poltergeist-ku, dan tidak mau terlibat dalam pertempuran Sekigahara ala mereka. Aku dengan mudahnya berjabat tangan dengan Momo, dan dengan wajah netral serta intonasi yang wajar aku berbicara dengan Aya, tanpa mata berbinar seperti kebanyakan cowok. Bagiku tidak ada yang menyilaukan atau menyeramkan. Oleh karena itu, aku mulai diperlakukan sebagai spesies ketiga, yaitu “aneh”.
Aya tiba-tiba mengibarkan bendera permusuhan denganku. Ia biasa menatap setiap orang dengan senyuman, tapi tidak denganku. Momo, menjaga jarak dariku. Entah kenapa ia seperti takut padaku. Padahal aku juga bisa tersenyum, pada semua orang. Tapi entah mengapa dan entah, hanya kata itu yang ada dalam pikiranku. Apakah ini berkaitan dengan praktikum di laboratorium IPA beberapa waktu lalu? Teman-temanku melihatku dengan tatapan aneh ketika aku membedah spesimen biologi. Kata mereka, tatapan wajahku, ekspresiku menakutkan saat melakukannya. Seperti sudah terbiasa, tidak takut dengan darah, tidak ada rasa jijik, dan tetap netral. Ada yang berbisik dengan satu kata yang kuingat agak samar, ‘psikopat’. Apakah itu? Aku memang biasa menyembelih dan memotong hewan di rumah, mulai dari ayam, kelinci, hingga kambing, tapi belum pernah yang lebih besar daripada itu. Aku pernah juga menunggui seorang wanita melahirkan, dan sejak itu juga memang pandanganku terhadap perempuan berubah.
Mungkinkah sifatku yang membuat orang-orang mulai menjauhiku? Bukan karena aku tidak keren, dan aku juga tidak mengejar cewek-cewek, tidak mencari pacar seperti lainnya. Cewek mau menjauhiku seolah tanpa harga, sebab aku tidak pernah mendekati mereka, jadi mereka merasa tidak ada bedanya menjauhiku atau tidak. Hanya saja, kali ini mungkin mereka merasa lebih aman menjauh dariku. Inipun, bukan yang pertama kali bagiku.
Semua berjalan seperti mendung musim hujan, makin lama makin gelap. Namun yang aku herankan, sosok Aya yang selama ini kuacuhkan, makin terlihat. Meskipun, aku tak punya rasa tertarik padanya. Secara normal mungkin aku tertarik, seperti laki-laki normal melihat kecantikan dan kemolekan perempuan, apalagi kalau dia bertelanjang, gairahku pasti juga akan menggelora. Namun bukan rasa tertarik yang ‘itu’. Aku tidak ingin mendekatinya, memilikinya, atau semacamnya. Aku melihatnya seperti melihat Orient Doll milik pamanku si maniak Manga. Aya, menimbulkan tanya di hatiku, dan aku pun mulai turut merasakan mendung itu, seperti yang teman-temanku rasakan.
Hari pun berganti, dan mataku tertumbuk pada Hana, yang datang dari seberang. Bersamanya, musim gugur seakan tersapu menjadi musim dingin. Namun dalam kesepian musim dingin itu, nampak keelokan kemilau es dari kebekuannya. Ia bukan Aya, yang selalu hangat seperti sake musim gugur. Ia bukan Aya yang menatap setiap penjuru dengan harapan, hingga setiap jiwa bergejolak untuk mewujudkan harapan itu. Kecuali diriku, aku hanyalah sebangsa jamur yang meringkuk di gelap temaramnya lantai hutan. Dan dengan kedatangannya, sesuai namanya yang berarti bunga, Hana mengubah seresah hutan itu menjadi taman indah kala salju mencair. Namun ia tetap beku seperti es abadi. Ia bagaikan setangkai Himawari yang terawetkan dalam sebongkah es. Ia mendinginkan hatiku, membekukanku, dan membawaku dalam keangkuhan malam yang tak berkesudahan. Aya sirna sudah, dengan cara yang aneh. Bagiku Hana adalah segalanya. Suatu perubahan yang teramat aneh, dan terlalu cepat mungkin. Aku takut bahwa apapun yang muncul terlalu cepat, akan musna dengan segera seperti kembang api tahun baru. Tapi aku tak peduli. Aku merasa mendapat jawaban atas semua pertanyaanku selama ini. Aku mendapat tujuan untuk berjalan, untuk beranjak dari kursiku yang membosankan bersama spesimen-spesimen itu.
Hana pun tak sedingin yang dikira orang. Di balik kepolosannya, ia bukanlah lolitta yang hanya bisa bermanja sambil menunjukkan kemolekan palsunya. Ia adalah wanita sejati. Dan ia membiarkan dirinya jatuh ke pelukanku. Ia membiarkanku menjamahnya, dan ia pula menjamahku. Sesuatu yang nampaknya terlalu mustahil untuk beberapa waktu sebelumnya. Bagaimana bisa, tanya teman-temanku. Tapi mereka tak perlu tahu. Perkenalan singkat kami, kepolosanku yang berpadu dengan kebekuannya, dan bahkan pertarungan kami di Dojo sekolah saat latihan Kendo, semua seperti skenario yang sudah disusun rapi. Ia juga kesepian seperti halnya diriku, dan ia tak berharap akan sesuatu yang menyilaukan, seperti pangeran berkuda putih untuk menjemputnya dari menara pengasingan. Ia menerimaku dengan sederhana, karena aku tak memberinya bunga. Aku mengijinkannya bicara, aku menyediakan diriku untuk mengenalnya, menikmati makanan kesukaannya, dan membiarkannya sendiri saat ia galau, lalu menyapanya kembali dengan hangat pada saat matahari musim semi sudah terbit di matanya.
Hana tidak ingin diperhatikan. Ia ingin datang dan pergi. Ia bukanlah gadis impian yang diimpikan atau diinginkan untuk menjadi kekasih pendamping hidup, yang konon selalu harus bisa memberikan kebahagiaan pada pasangannya. Aku membalik cara berpikirku. Aku ingin memberinya sesuatu yang dia minta, bukan yang aku ingin berikan. Aku ingin bersamanya hingga saat dia memutuskan untuk pergi dariku, dari semuanya. Ia adalah gadis fantasi, gadis yang hanya hidup di alam fantasi, sebagaimana keanehannya yang seolah membuatnya tak diakui di dunia nyata. Tapi apakah benar demikian?
Apakah tidak aneh jika seorang gadis tidak pernah menanyakan perihal cinta pada lelaki yang sedang bersamanya? Aku tidak pernah pula membahas hal itu, terlalu klise bagiku. Ini semua terjadi seperti saat kami rebutan es krim atau kuah chawan mushi, secara insidental. Dinikmati, tapi tidak untuk disesali. Begitu juga saat kuremas lembut kedua buah dadanya, atau kupagut bibirnya tanpa ragu. Ia hanya menatapku kosong, lalu tersenyum sedikit, dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa selebihnya. Ia benar-benar dingin, seperti es. Mungkin hampir seperti Orient Doll hanya saja ia punya suhu tubuh, dan ia mampu mengimbangi napasku, mengubah-ubah ekspresi wajahnya, serta protes ketika ini begini atau itu begitu. Meskipun, pada dasarnya ia tetap dingin, dan sering seperti menahan daripada bicara. Air mata kadang menetes dari sudut matanya, dan ekspresinya tak bisa kutebak, seperti kosong. Tatap matanya dalam dan gelap, seperti jurang yang dalam.
Musim semi yang aneh pun tiba. Di sebuah koridor blok kota, Aya tiba-tiba menghampiriku, mendorongku dan memojokkanku. Hanya ada kami berdua. Ia menatapku dengan tatapan nanar, hampir berkaca-kaca, dan ia seolah menelanjangiku dengan kedua matanya. Ia menelusuri lekuk-lekuk wajahku, hingga keseluruhan penampakanku, barulah ia melepas kedua tangannya dari kerah bajuku. Anehnya, selama peristiwa itu akupun diam, seolah mempersilakan apapun terjadi atau dilakukannya, dan seandainya ia adalah vampir mungkin sudah digigitnya leherku.
Keanehan kedua, aku beralih dari sana, dan meneruskan langkahku. Bau katsudon dari warung langgananku sudah memanggil. Tapi sekilas aku masih melihatnya menatapku dari kejauhan. Ia jatuh terduduk, dan di ujung sana, kulihat sesosok pria paruh baya di samping sebuah Limousin yang sengaja parkir di ujung gang. Itu pelayannya, Sebastian, menunggu nona muda itu, apapun urusannya, dan mempersilakannya kembali masuk mobil. Aku tak berpikir apapun, seperti biasanya. Aku memang membiasakan pikiranku untuk tidak turut berkata-kata. Kepalaku diisi dengan bayangan-bayangan hal-hal yang akan menjadi urusanku berikutnya, tapi tidak prasangka, bahkan tidak pula kata-kata. Aku pelajari itu dari pamanku yang lainnya lagi, seorang mentalis.
Pagi harinya, Hana pergi. Ia tak ada lagi di sekolah itu. Ia mengikuti ayahnya, seorang pelaut Amerika yang dipindahtugaskan ke Pasifik Selatan. Setelah itu aku seperti digoda untuk berpikir. Kepalaku seperti berdengung-dengung. Bukan karena teringat kenikmatan yang kudapat bersama Hana, saat aku memeluknya, atau memasukkan tanganku ke balik bajunya. Aku merasa bayangan Hana dikacaukan dengan wajah Aya. Aku tetap menjadi freak yang pendiam dan penyendiri. Hanya sesekali teman sekelasku menyapa, “Kano, selamat pagi!” atau sapaan-sapaan sok formal lainnya. Entah mereka tersenyum karena mengejekku, atau karena menganggapku remeh, aku tak peduli. Sejak aku menghajar tiga orang sok jagoan yang suka menindas murid lemah itu, aku menjadi disendirikan. Semua orang takut padaku, meski ada yang berlagak hormat padaku, terutama para pecundang. Aku enggan menemani mereka, atau bergabung dalam klubnya. Enggan juga membagi tips bagaimana dihormati orang, atau bagaimana menghajar orang yang bikin masalah, dengan menghantam hidungnya terus-terusan meski dia sudah menangis atau bilang menyerah. Darah bukan apa-apa bagiku, dan semua itu tetap berhubungan dengan satu hal yaitu keberuntungan. Hime, siswi yang konon putri kepala Yakuza itu pun memilih untuk tidak mengusikku. Ia tahu kalau aku hanya ingin menyendiri. Atau entah karena alasan lain. Aku memang selalu menyendiri, sebelum Hana datang, dan juga kini.
Hana bukan Momo yang dianggap najis oleh para cowok. Hana juga bukan Maririn, Ririe, atau Sophie, trio yang berlagak Eropa tapi tetap menjadi kerikil di mana-mana, ada tapi tak dianggap. Hana adalah suatu keanehan, ya, keanehan yang sebenarnya kubuat sendiri.
Tanpa sikap dinginku pada Aya, tanpa aku menolak untuk turut memuja Aya seperti kebanyakan cowok, mungkin sosok Hana akan tetap biasa saja. Tapi semua tidak biasa jadinya. Hana adalah kesedihan bagi Aya, kesedihan yang membuatnya mau melakukan apa yang tak terbayang sebelumnya. Apakah aku, dengan sikapku, membuat Aya justru memperhatikan diriku? Bukan Oda, Kimura, atau Takano yang berkilauan?
Aya tiba-tiba hadir di tempat kontrakanku. Ia memaksa masuk, dan aku melihat tak ada siapapun yang berada cukup dekat untuk mengintai yang ia lakukan di sini. Aku tak bisa menceritakan lebih jauh lagi. Tiba-tiba aku merasakan kehangatan seperti saat Hana masih ada bersamaku. Aku ingin merengkuhnya sekali lagi, tapi yang dihadapanku adalah Aya, boneka Orient Doll hidup itu. Ia menyambutku, seperti api unggun pada marshmallow. Kami pun melakukannya, dan baru kutahu bahwa ini adalah yang kedua baginya. Kembali lagi, semua itu bergulir begitu saja. Tubuh moleknya, kecantikannya, kehangatan dan semua yang kurasakan seperti mandi di Onsen musim dingin. Semua hanyalah untuk dinikmati saja, bukan untuk disesali.
Itulah pertama kalinya aku tersenyum dengan tulus sejak bertahun-tahun, dan kulihat Aya juga tersenyum, dalam lelahnya di pelukanku.
~UNSIW'2013~
Selengkapnya
Senin, 25 Februari 2013
Sebuah Catatan Awal Tahun
Sebuah awal, dan juga akhir. Awal tahun masehi dan akhir tahun imlek. Namun akhir selalu merupakan awal bagi sesuatu yang baru, dan awal dari sesuatu takkan ada tanpa berakhirnya sesuatu yang lain. Kumpulan kata-kata itu barangkali filosofis sekaligus klise yang diulang-ulang. Sedangkan sesuatu yang diulang-ulang biasanya akan pudar atau kehilangan maknanya. Kelucuan yang diulang-ulang menjadi tidak lucu lagi, begitu pula dengan kesedihan.
Hal yang paling membuatku syok seumur hidupku – yang telah kulalui hingga kini – bukanlah terpisahnya kedua orangtuaku, perceraian mereka, bukan. Namun sebuah kenyataan bahwa ternyata orang-orang yang selama ini mengkerdilkanku dan menginjak-injak harga diriku dengan menyebutku sebagai ‘anak kecil’ ternyata telah kemudian menampakkan jati dirinya yang serupa anak kecil. Dan, mungkin yang lebih membuatku merasakan efek kehebohan itu adalah karena aku selama delapan tahun terakhir ini bergaul, berhubungan, menelaah, dan keluar-masuk dunia yang berisi anak kecil. Aku seorang guru, meski bukan yang sebenarnya. Aku pula seorang yang entah mau disebut apa, karena pekerjaanku melibatkan anak-anak dan remaja, memberi mereka tes, mengajak belajar, bermain, diskusi, dan semuanya atas nama psikologi. Pendeknya, aku berkecimpung di dunia yang dipenuhi anak-anak. Sebenarnya bukan secara harfiah anak-anak, namun remaja. Tapi apalah bedanya, buatku mereka memang belum memiliki taraf kedewasaan yang membuat mereka disebut manusia dewasa. Jadi aku tahu persis anak kecil itu seperti apa, dan yang bukan anak kecil itu seperti apa.
Sejak aku kecil pun, sebenarnya banyak kulihat orang dewasa yang menampakkan sisa-sisa kekanak-kanakannya secara lugas. Tapi yang kemarin, bukanlah sesuatu yang kecil seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya, ketika aku masih bisa disebut anak kecil, aku sudah memahami fenomena itu. Orang dewasa tetaplah bekas anak-anak. Namun kemudian, ketika orangtuaku memberangusku dengan sebutan “kamu anak kecil diam saja!” lalu pada akhirnya mereka memintaku memilih – klise banget, seperti kebanyakan kisah perpisahan yang sudah ada – antara keduanya, mereka juga seolah tidak menerima kata kompromi, bargaining, atau gencatan senjata. Adanya cuma pilihan yang sudah mereka bikin sebagai hakim agung sekaligus eksekutor persis di film Jugde Dredd.
Usiaku waktu itu 26 tahun, mungkin. Karena aku juga sudah samar tentang itu, dan aku sudah sering menjadi konselor bagi anak-anak muda. Tapi bagaimanapun di hadapan orang tuaku, aku masihlah terlalu kecil. Padahal di hadapanku, mereka seolah tak ada bedanya dengan para remaja yang saban hari ku temui untuk konseling dan semacamnya. Siapa yang sebenarnya anak kecil diantara kita? Tanyaku. Kalimat itupun hanya sempat menghiasi akun fesbuk sebagai sebuah status yang kemudian tak mendapat respon kecuali di-like oleh beberapa orang lewat.
Awal tahun ini, berakhirlah sesuatu, masa ke-duda-an ayahku. Ia menikah lagi dengan seseorang yang entah bagaimana bisa bertemu, setelah sebelumnya jalinannya dengan sesseorang yang lain kandas dan kata beberapa orang yang mengaku tahu, itu ada hubungannya pula dengan yang dilakukan ibu, mantan isterinya. Tiba-tiba pada beberapa hari sesudah nikahnya, seseorang datang mengamuk dan meracau, berkata ia juga turut memiliki ayahku, lalu mengancam isteri barunya dengan omongan keji. Responnya, bunda baruku tiba-tiba pergi tanpa pamit, dan baru kembali sore harinya. Babe menangis sesenggukan di bahuku, aku hanya menarik napas seperti saat latihan Tai Chi, saat dimana aku menetralisir semua kejahatanku. Meski akhirnya semua baik-baik saja, namun catatan ini tetap bergulir.
Sering sudah aku dikatai anak kecil dan oleh karena sebutan itu hak-hakku diberangus. Aku sedih dan marah, namun bisa apa? Aku hanya melakukan sesuatu yang disebut ayah sebagai “diam-diam frontal”. Tapi aku berjanji, saat ini aku bukanlah aku yang kecil dan dungu. Aku sudah bisa melawan, baik dengan kekerasan maupun kelembutan. Aku seudah pernah mengalami kejahatan – sebagai pelakunya – yang bahkan tak berani terpikir oleh mereka-mereka yang menganggapku kecil. Aku menjadi cuek, bersandiwara tanpa bersandiwara, ‘nglegani’ tanpa menjadi munafik hipokrit, aku biarkan semua mengalir seperti keluarnya air seni dari lubang kemaluan. Aku katakan saja,”mereka sudah dewasa, dan sudah bisa bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.
Aku menunggu saat itu, saat dimana aku berdiri diatas semuanya, ketika semua tunduk bersujud di bawah kakiku. Saat dimana aku masih akan menyebut diriku sebagai anak kecil di hadapan mereka, tapi memperlihatkan bahwa anak kecil ini bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dilakukan si besar. Aku pun siap membuang mereka, seperti membuang kejahatanku di masa lalu, atau membuang kesucianku di tahun-tahun yang lebih lampau lagi.
Tahun ini, karir yang sesungguhnya baru dimulai. Setelah bertahun-tahun kuhabiskan menyembuhkan diriku sendiri tanpa bantuan sesiapapun dari mereka yang mestinya membantuku, aku takkan pasang harga untuk mereka nanti merangkulku kembali. Gratis? Lebih tepatnya tidak dijual! Aku tumbuh sendiri, aku memiliki diriku sendiri, dan takkan kubagi ke siapapun yang merasa pernah atau masih memilikiku. Jika kekejian kata-kata ini membingungkan, akan nampak jelas dengan menatap kedua mataku, dan melihat apa yang tersimpan di sana. Bagi mereka yang mengancamku dengan darah padahal tidak kuasa melihat darah, mereka yang mengataiku kecil padahal mereka sendiri lakukan yang dilakukan anak kecil....aku tahu kenapa mereka begitu, karena mereka sesungguhnya kecil dan lemah, takut dan tidak teguh, tapi berusaha menyembunyikannya dariku agar nampak besar di hadapanku. Mereka hanya bersembunyi, mereka hanya bersandiwara. Tapi aku tidak! Aku sudah mulai perlihatkan taring ini, dan mereka sudah mulai terlihat getarannya. Atau lebih tepatnya, mereka akan terhisap ke dalam rongga perutku setelah aku membelit mereka lembut, namun kuat dan tak terelakkan. Itu sudah mulai terjadi. Tahun ini, bukanlah awalnya...karena sudah berlangsung beberapa saat. Tapi bagi mereka, kengerian baru mulai disadari. Aku akan menghantam semuanya seperti ombak. Aku akan menenggelamkan mereka seperti tenggelamnya atlantis. Aku akan membuat mereka – tak peduli apapun yang akan mereka katakan – menjerit dan menangisi kebebalan dan kesalahan-kesalahannya. Meskipun, aku hidup tidak untuk membuktikan bahwa mereka salah, tapi untuk membuktikan bahwa apa yang kuyakini benar, itu baik bagiku. Begitu kata Mario Teguh.
Mungkin setan dalam diriku mengajakku untuk menghukum mereka semua, semua orang yang terlibat, atau menghancurkan mereka seperti apa yang biasa menjadi prinsip lamaku, “tidak ada keadilan, harus balas dendam!”. Tapi rasanya aku punya sesuatu yang lebih asik untuk dilakukan...dan itu akan kulakukan.
Aku akan tetap tersenyum ramah, seperti yang selalu kulakukan pada mereka-mereka yang kucintai dan kusayangi. Tapi di balik senyumanku selalu ada sesuatu, dan itulah yang mulai mereka takutkan sekarang.
Selengkapnya
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
Jika dalam pewayangan dikenal Arjuna sebagai sosok pria sempurna, maka dikenal pula sosok Srikandi sebagai wanita idealnya. Ada pula sos...
-
Beladiri adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi bahaya. Ada beberapa macam kondisi bahaya misalnya perkelahian, aksi kejahatan, kecel...