Seorang boss akan melakukan hal yang berbeda dengan seorang ayah. Jika
hubungan ayah-anak disamakan dengan boss-pegawai. Seorang boss yang baik akan
meninggikan nama karyawan/ pegawainya dihadapan boss dari perusahaan lain. Mungkin
dia akan memuji karyawannya tersebut atau menyebutnya sebagai pegawai yang
berkualitas, jika berurusan dengan orang lain atau urusan luar perusahaan.
Pegawai adalah asset perusahaan, juga bisa menjadi “muka” bagi perusahaan
tersebut. Jika si boss memuji karyawannya di depan perusahaan lain, maka ia
menjaga nama baik perusahaannya. Tetapi kebalikannya, di dalam internal
perusahaan si boss justru akan memaki-maki atau gampang memarahi karyawannya
itu jika kerjanya kurang beres sedikit saja. Bahkan sering meski sudah bekerja
dengan baik, si boss seolah tetap tidak puas dengan karyawannya. Hal ini adalah
untuk menjaga performance kerja para karyawannya, tidak dengan pujian atau
semacamnya. Sebab reward yang diberikan pada karyawan sudah jelas dan sesuai
dengan system yang diberlakukan. Karyawan memperoleh gaji, plus lembur dan atau
bonus-bonus tertentu sesuai prestasi dan aktivitas kerjanya. Reward dari si
boss terhadap karyawan tidak berupa kelunakan hati dengan kata-kata manis atau
pujian melainkan hak yang memang telah dijanjikan. Jika karyawan dipuji, maka
ia akan cenderung lalai dan bekerja semaunya sendiri, karena sudah digaji,
dapat bonus, plus tanggapan psikologis yang menyenangkan, maka merasa diatas
anginlah dia.
Berbeda dengan itu, hubungan ayah-anak tidak bisa disamakan dengan
boss-karyawan. Meskipun, ironisnya, apa yang terjadi justru berkebalikan.
Seorang ayah (ataupun orangtua secara umum) justru melakukan apa yang
seharusnya dilakukan seorang boss. Coba tengok perbandingan berikut ini:
1.
Meninggikan di luar dan merendahkan di dalam
Orangtua ketika membawa anaknya berhadapan dengan masyarakat umum atau
keluarga lain, mestinya tidak meninggikan anaknya sendiri. Jika iya, dan di
dalam rumah si anak dicela atau dikomentari negative, maka orang tua telah dua
kali menjatuhkan si anak beserta keluarganya sendiri. Memuji-muji atau
meninggikan anak dihadapan umum menyebabkan persaingan dengan orang lain yang
juga sama-sama punya anak, seolah saingan “anakku bisa begini, anakmu bisa apa?”.
Hal ini juga akan menyebabkan munculnya
“forum perbandingan” yang berujung perlakuan negative dan dehumanisasi
terhadap anak di dalam rumah. Anak akan merasa sangat tidak enak jika
dibandingkan dengan anak lain, atau disuruh mencapai apa yang dicapai anak
lain. Karena ia punya bakat sendiri dan minat yang berbeda. Meninggikan anak di
luar keluarga akan menciptakan ketegangan antar orangtua (persaingan), dan
merendahkannya di dalam akan menyebabkan si anak merasa tidak diakui, tidak
diperhatikan dan tidak dikasih-sayangi. Pengaruhnya ke prestasi, mungkin akan
makin menurun, dan atau si anak akan stress lalu mengarah pada perilaku
kenakalan tertentu.
2.
Meninggikan di luar dan di dalam
Jika di luar dipuji-puji dan di dalam keluarga juga demikian, maka si anak
akan merasa selalu hebat. Ini justru membuatnya merasa tidak pernah salah,
selalu benar, dan sudah cukup dengan apa yang dicapai. Tidak akan ada dorongan
untuk berprestasi, dan kalau bertindak biasanya keluar dari nilai-nilai
sekenanya.
3.
Merendahkan di luar dan di dalam
Terkadang karena rasa tidak enak pada orang lain, atau takut dikira
sombong, maka orangtua merendahkan anaknya (lebih rendah daripada kondisi
normalnya anak orang lain). Hal ini sekilas biasa saja, tapi jika sudah sampai
taraf mencela, misalnya mengatakan bahwa anak saya itu jeleknya begini…begitu…
maka itu bisa dianggap serius oleh orang lain. Kemudian orang lain bisa
beranggapan bahwa kondisi keluarga si orangtua tersebut memang tidak baik, dan
akhirnya akan menyebabkan pandangan negatif atau meremehkan keluarga tersebut.
Sejalan dengan itu, bila di dalam rumah orangtua justru bersikap sama yaitu
merendahkan anaknya (mencela) maka si anak akan beranggapan betapa memang
buruknya dirinya, dan atau dirinya turut menyebabkan keburukan dalam keluarganya.
Ia akan hidup dengan dipenuhi penyesalan, ketidakpercayaan diri, dan akhirnya
motivasi dan harga diri yang rendah. Orang seperti ini rentan menjadi korban
bullying di lingkungan manapun ia berada, dan tidak punya mental untuk mencapai
sesuatu yang besar.
4.
Merendahkan di luar tapi meninggikan di dalam
Jika anak punya prestasi sekecil apapun, maka di dunia luar kita orangtua
lebih baik mengatakan bahwa itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Merendahkan
dalam artian tidak memuji ketinggian, namun hanya menjadikannya “level normal”,
dan tidak mencela maka itulah yang semestinya dilakukan para orangtua. Hal itu
akan menghindarkan kita dari anggapan sombong, sekaligus anggapan kondisi buruk
keluarga, sebab semuanya baik-baik saja atau biasa-biasa saja, tidak terlalu
istimewa. Sementara itu, di dalam rumah, si anak dimotivasi dengan memberikan
apresiasi atau sedikit pujian sewajarnya. Katakan saja bahwa ia telah melakukan
hal yang bagus, mencapai prestasi yang baik, atau perjuangannya lebih berarti
daripada hasil yang didapat. Hanya saja, yang perlu diingat adalah meninggikan
anak ataupun memuji ini harus wajar saja, tidak berlebihan. Sampaikan juga
kekecewaan kita jika ada, namun tetap kita mengapresiasi apa yang ia lakukan
dan berikan dorongan untuk terus maju menjadi lebih baik dari dulu dan
sekarang. Dengan begitu, anak akan menjadi percaya diri pada kemampuannya,
mampu menghargai diri sendiri dan orang lain serta termotivasi untuk maju
dengan apa yang ia miliki tanpa merasa rendah disbanding orang lain. Plus,
keluarga akan terhindar dari omongan jelek atau diremehkan orang lain. Seperti
kata pepatah kuno Taoisme, “pohon yang besar dan tinggi akan ditebang dan
dirubuhkan”, maka janganlah kita meninggikan diri di hadapan orang lain, agar
tidak menantang mereka untuk merendahkan atau menjatuhkan kita.
Jadi, yang disebut merendahkan sebenarnya hanya normalisasi atau
netralisasi. Prinsip yang mengalir seperlunya ini adalah bagian dari cara hidup
yang harmonis, tidak merusak atau membentur apa yang ada. Sebagai seorang boss
pasti berbeda dengan menjadi seorang ayah/ orangtua, sebab tujuannya juga
berbeda. Salam.